PAPUA, KOMPAS.com - Jauh di dalam provinsi paling timur di Indonesia, sekelompok pengamat burung menunggu dengan sungguh-sungguh untuk bisa melihat sekilas burung-burung yang terkenal.
Seperti diketahui, perburuan dan penggundulan hutan yang merajalela telah menghancurkan populasi burung di banyak hutan di Papua.
Sekelompok orang itu beruntung, kesabaran mereka membuahkan hasil. Tampak seekor burung cenderawasih merah melesat di antara dedaunan, bergantung pada cabang pohon tinggi di dekat sebuah desa terpencil, Malagufuk.
Industri perkebunan dan pertanian disebut-sebut menjadi peluang ekonomi dan tengah berkembang pesat di Papua. Tetapi beberapa penduduk desa dan konservasionis memperingatkan bahwa hal ini berpotensi mengakibatkan kehancuran hutan dan mendesak populasi burung ke ambang kepunahan.
Jumlah burung cendrawasih mengalami penyusutan di Papua, sebagaimana mereka dibunuh dan digunakan menjadi hiasan. Pihak berwenang telah mengeluarkan larangan penjualan spesies tersebut namun perdagangan ilegal masih terus berkembang karena permintaan yang tinggi.
"Saat ini yang menjadi ancaman bukan hanya perburuan satwa liar, tapi pembalakan liar. Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dan kokoa merupakan ancaman terbesar," kata seorang pemandu burung, Charles Roring kepada AFP.
Hutan hujan Indonesia adalah rumah bagi 41 spesies burung cendrawasih, menurut Roring, 37 di antaranya dapat ditemukan di hutan-hutan Papua.
Spesies-spesies itu berkisar dari burung cenderawasih kecil, yang dikenal dengan bulu kuning dan putihnya, hingga burung cenderawasih dua belas kabel, yang dikenali oleh filamen yang membentang dari ekornya.
Dikagumi karena warna yang mencolok dan ritual perkawinan yang rumit, burung-burung tersebut memiliki sejarah panjang hingga akhirnya ditangkap dan diperdagangkan sebagai hiasan.
Dulunya, cenderawasih memikat orang-orang Eropa setelah penjelajah abad 16 kembali dengan kulit burung yang telah dikeringkan, dipotong kakinya dan dipasangkan pada tongkat.
Sementara bulu cenderawasih yang berwarna-warni hingga kini masih populer dijadikan dekorasi tradisional suku Papua, seperti hiasan kepala.
Serene Chng, seorang petugas program di sebuah LSM Lingkungan Hidup, mengatakan, burung-burung liar diselundupkan ke daerah lain di Indonesia dan Asia Tenggara.
"Kapasitas penegakan hukum sangat terbatas," jelasnya.
"Tantangannya termasuk permintaan dari konsumen, korupsi, pengawasan yang buruk, serta kurangnya dukungan dari lembaga non-penegak hukum yang dapat membantu maskapai penerbangan, pengirim barang, layanan kurir dan bandara," kata Chng menambahkan.
Solusi Ekowisata
Di Sorong, salah satu kota terbesar di provinsi Papua Barat, seorang penjual suvenir mengatakan kepada AFP bahwa gelang tradisional yang dibuat dengan bulu burung bisa dihargai Rp 1,5 juta.
Papua adalah rumah bagi sepertiga hutan hujan Indonesia yang tersisa, namun hutan-hutan itu ditebang dengan cepat.
Perusahaan kelapa sawit mulai beroperasi di dekat Desa Malagufuk sekitar tiga tahun lalu, menurut ahli lingkungan Max Binur, dari LSM Belantara Sorong.
Binur, yang mengetahui bahwa warga khawatir perusahaan tersebut akan menghancurkan hutan dan kehidupan desa tradisional mereka, mengajukan solusi yang dia yakini akan melindungi burung dan hutannya.
Dia membantu mengubah Malagufuk menjadi sebuah eco-village, di mana penduduk sekarang bekerja sebagai pemandu atau menyediakan akomodasi bagi pengunjung.
Kurang lebih 20 wisatawan berkunjung setiap bulannya untuk melihat burung cendrawasih, serta spesies burung lainnya seperti kasuari and enggang.
Pengunjung harus menempuh perjalanan selama sekitar dua jam melalui hutan untuk mencapai permukiman rumah susun terpencil yang memiliki listrik terbatas.
"Kedengarannya seperti tur ekowisata yang bagus yang bisa kami lakukan. Ibu saya termasuk penyuka burung dan kami mengenal burung-burung cenderawasih dari menyaksikan film-film dokumenter," kata seorang turis Jerman Lisa von Rabenau.
Binur berencana untuk meluncurkan usaha eco-village serupa di seluruh Papua dan berharap pariwisata akan mengarah pada konservasi burung-burung yang terkenal di dunia dan menguntungkan penduduk setempat.
"Wisatawan dapat memberikan sebagian dari uang mereka sehingga penduduk desa mampu membina keluarga mereka, menyekolahkan anak-anak mereka, membeli pakaian, dan dengan ini mereka akan sadar untuk menyelamatkan alam," tambahnya. AFP