BOGOR, KOMPAS.com - Bercelana pendek dan bertelanjang dada, Adi jongkok di tengah aliran sungai di kawasan Babakan Madang, Bogor, Rabu (3/1/2018). Panas terik matahari tidak menyurutkan niatnya merogoh dasar sungai dan mengambil batu.
Demi mendapatkan uang, Adi dan dua rekannya harus rela punggungnya terbakar matahari, tangannya kapalan, dan basah-basahan.
Pria bertopi coklat tersebut terus "menggali" batu di dasar sungai dengan menggunakan tangan yang jari-jarinya terbilang cukup besar.
Batu yang berada dalam tangkapan lalu Adi pindahkan ke dalam pengki. Setelah batu di pengki penuh, batu itu dioper ke dalam truk tua.
Hal tersebut dilakukan mereka secara berulang hingga bak truk terisi penuh batu.
Butuh sekitar satu jam lebih memuat batu ke bak truk sampai penuh. Satu bak yang terisi penuh batu hanya dihargai Rp 65.000.
Setelah bak penuh, Adi masih harus berjuang untuk menyalakan truk yang sering disebut masyarakat dengan nama tiper alias titipan perang.
Adi mengisi tangki dengan air sungai. Lalu, air tersebut diisi ke dalam radiator. Selanjutnya, Adi menyalakan truk dengan cara diengkol.Â
Truk ini sangat tradisional terbukti tidak memiliki electrick starter.
Adi menancap truknya menuju ke penggilingan batu dengan melalui jalan yang menanjak, berbatu, dan licin.
Sekitar 10 menit, truk yang dikemudikan Adi sampai ke penggilingan. Di sana, ada sekitar 10 orang pekerja dengan sebuah mesin besar untuk menggiling batu.
Saat mesin beroperasi menghasilkan suara yang bising dan debu.
Karena itu beberapa pekerja terlihat menutup hidungnya dengan kaus agar tidak terhirup debunya. Batu digiling akan berubah menjadi seplit, agogo, abu, dan his.
Hari masih panjang, Adi kembali mengemudikan truknya ke sungai lagi dan berendam untuk mengambil batu. FERRIL DENNYS