MALANG, KOMPAS.com – Terlahir sebagai penyandang tunadaksa (tanpa kedua tangan) tidak membuat Sadikin Pard (52) pesimistis dalam menjalani hidup.
Pria kelahiran 29 Oktober 1966 itu bahkan membuktikan, penyandang disabilitas juga bisa sukses layaknya orang normal pada umumnya.
Sadikin Pard tengah memulai melukis saat ditemui di padepokannya di Jalan Selat Sunda Raya D1/40B, Kota Malang, Selasa (16/10/2018).
Padepokan yang tidak begitu luas itu berdiri tidak jauh dari rumahnya yang ada di Jalan Selat Sunda Raya D5/35.
Saat itu, Sadikin duduk di kursi warna merah. Di depannya terdapat kain kanvas berukuran 40x55 sentimeter yang menjadi wadah coretan kakinya.
Kaki itu terus menari memainkan kuas sembari menyisakan coretan warna di atas kain kanvas tersebut.
Tidak berapa lama, sekitar 10 menit, lukisan itu selesai. Sadikin telah menyelesaikan lukisan impresionis pemandangan pohon. Pencahayaanya kuat, layaknya lukisan impresionis pada umumnya.
“Saya memang senang melukis impresionis,” katanya sambil menunjukkan hasil karyanya itu.
Sadikin Pard merupakan pelukis profesional yang mengandalkan kakinya untuk melukis.
Ia menekuni profesi itu sejak 1989, saat dirinya resmi menjadi anggota tidak tetap dari Association of Mouth and Foot Painting Artist (AMFPA).
Organisasi yang bermarkas di Swiss itu merupakan organisasi internasional yang mewadahi lukisan karya tunadaksa yang melukis dari kaki atau mulut.
Sejak tergabung dalam organisasi tersebut, Sadikin Pard harus menciptakan sebanyak 15 karya lukisan setiap tahun untuk dikirim ke asosiasi tersebut.
Lambat laun, jiwa pelukis Sadikin Pard yang telah tertanam sejak masa Taman Kanak–kanak (TK) terus tumbuh.
Sadikin terus menelurkan karyanya. Tidak hanya untuk AMFPA, ia juga melukis untuk dirinya sendiri.
Tak jarang, lukisannya yang kebanyakan impresionis dan realis disukai banyak orang. Hal itu yang membuat nama sekaligus karya bapak dua anak ini terus melambung di kalangan pecinta seni lukis.
Bagi Sadikin, mengikuti pameran lukisan di berbagai negara sudah menjadi hal yang biasa. Karyanya sudah laku di mana–mana dengan harga yang tidak murah.
Sadikin bertekat terus menghasilkan karya yang berkualitas. Sebab sejak awal, Sadikin ingin karyanya laku karena kualitasnya, bukan karena keterbatasan dirinya.
Saat ini, Sadikin sudah menjadi anggota tetap AMFPA. Meski terbatas menggunakan kakinya, produktivitas Sadikin melibihi seniman lukis lainnya, bahkan yang memiliki organ tubuh lengkap.
“Saya bercita–cita ingin mendirikan sekolah seni. Karena di Malang belum ada sekolah seni,” ungkapnya. KONTRIBUTOR MALANG, ANDI HARTIK