JAKARTA, KOMPAS.com - Ketika suatu hari Eman Sulaeman (30) memohon kepada orangtuanya untuk mengizinkannya bermain sepak bola, sang ayah dan ibu khawatir kalau putra mereka yang terlahir dengan kondisi kaki tak sempurna itu kelak akan dicemooh banyak orang.
Namun, Eman kini membuat banyak orang terpukau dengan kemampuannya sebagai kiper.
Kelihaiannya dalam menjaga gawang telah diakui banyak orang dari dalam hingga luar negeri, sekaligus mendobrak stigma tentang batas pencapaian bagi penyandang disabilitas atau difabel.
"Saya menangis selama berhari-hari, memohon mereka (orangtua saya) untuk membelikan saya sebuah bola," katanya kepada AFP di sela sebuah pertandingan yang ia jalani baru-baru ini di daerah Indramayu, Jawa Barat.
"Mereka mengalah dan pergi mencari bola plastik murah."
Tampak sejumlah penggemar Eman hadir menyaksikan sang idola bermain dalam pertandingan tersebut.Â
Mereka mengambil foto dan bersorak ketika Eman dengan gesit melindungi gawangnya, bergeser cepat meski tubuhnya bertumpu dengan kekurangan pada kakinya.
Tidak mudah bagi Eman. Penggemar berat mantan kiper Manchester United Edwin Van Der Sar dan bintang Real Madrid Cristiano Ronaldo itu harus berlatih tanpa lelah untuk meraih pencapaiannya seperti saat ini.
"Saya menghabiskan waktu lama belajar berjalan seimbang sebelum saya bisa menendang bola," katanya.
Pada 2016, ia mendapat kesempatan besar untuk bergabung dengan tim Indonesia di ajang Homeless World Cup di Glasgow, Skotlandia.
Turnamen sepak bola tahunan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang tunawisma dan melibatkan para pemain mulai dari pecandu narkoba, pencari suaka, hingga penyandang disabilitas.
Dalam kompetisi itu, Eman dinobatkan sebagai kiper terbaik.
"Itu seperti khayalan. Pertama kalinya saya berada di luar negeri dan saya dinobatkan sebagai kiper terbaik," katanya.
"Kerumunan orang dan bahkan semua anggota panitia penyelenggara bertepuk tangan untuk saya. Saya benar-benar tersentuh."
Media Inggris pada saat itu memuji Eman dan refleks gerak cepatnya yang mirip seekor kucing.
"Orang-orang cacat seperti saya dan orang miskin semua bisa bersatu tanpa dipandang rendah atau diberi stigma," ujarnya.
Eman yang kini menjalankan usaha toko reparasi elektronik, bertekad untuk menyebarkan cintanya pada olahraga dengan mendirikan komunitas pecinta futsal di kampung halamannya, Majalengka, dan melatih sepak bola di beberapa sekolah menengah pertama setempat.
Dia bermimpi untuk bisa bersaing dalam ajang besar seperti Paralympic Games suatu hari nanti, dan berharap bahwa dia akan terus menjadi inspirasi bagi atlet penyandang cacat lainnya.
"Kita harus tetap percaya diri dan termotivasi untuk memunculkan potensi dalam diri kita," katanya.
"Meskipun kami (difabel) memiliki keterbatasan, dalam keterbatasan itu ada hal-hal luar biasa," ujarnya lagi. AFP, DNO