SUBULUSSALAM, KOMPAS.com - Patroli rutin yang dilakukan ranger dari Forum Konservasi Leuser (FKL) sejak 2013 telah berperan penting bagi keanekaragaman hayati di hutan lindung seluas 6 ribu hektar di Kawasan Ekosistem Leuser Soraya, Kabupaten Subulussalam, Aceh.
Ranger FKL rutin melakukan patroli selama 15 hari setiap bulannya untuk menjaga kondisi hutan dari aktivitas perambahan atau illegal logging dan perlindungan terhadap satwa dilindungi dari perburuan.
"Dulu Kawasan Ekosistem Leuser ini sempat dikuasai Hak Penguasa Hutan (HPH) PT Argas. Tahun 2000 mereka meninggalkan lokasi karena konflik Aceh. Sejak itu, lokasi ini menjadi pintu masuk perburuan satwa dan illegal logging," kata Rudi Putra, Ketua FKL, kepada Kompas.com, Kamis (10/1/2019).
FKL awalnya terbentuk setelah Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) dibubarkan oleh Gubernur Aceh pada tahun 2012. Mantan staf dan para ranger lalu membentuk forum untuk menuntut hak mereka pada Pemerintah.
Sebagian dari forum tersebut yang konsisten dan peduli terhadap kondisi hutan berinisiatif membentuk FKL dengan tujuan agar aktivitas proteksi hutan dari kerusakan dapat terus dilakukan.
"Sebagian dari staf dan ranger mantan dari BPKEL sudah puluhan tahun terlibat dalam aktivitas konservasi Leuser, sehingga mereka saat itu tetap melakukan patroli walaupun tanpa biaya operasional," katanya.
Setelah mendapat MOU perlindungan hutan dengan Dinas Kehutanan Provinsi Aceh pada 2012, FKL yang diketuai Rudi Putra kemudian mencari donatur dari luar negeri untuk kebutuhan biaya operasional volunteer ranger yang saat itu terus melakukan patroli hutan.
"Pertama 8 orang volunteer ranger melakukan patroli tanpa digaji. Mereka hanya saya kasih Rp 2 juta utuk bekal patroli selama satu bulan berada di dalam hutan," sebutnya.
Setelah mendapat donatur dari salah satu lembaga di Amerika Serikat, FKL kemudian terus meningkatkan jumlah personel ranger beserta perlengkapannya untuk ditempatkan di 13 kabupaten/kota di Aceh. Sebanyak 26 tim atau 130 personel ranger dapat melakukan patroli rutin setiap bulannya.
"Sekarang sudah ada 26 tim ranger di 13 kabupaten/kota, satu tim terbagi 5 orang. Satu di antaranya Polhut dari Dinas Kehutanan, TNGL, dan BKSDA. Mereka sekarang digaji oleh FKL standar UMR, kemudian ditambah lagi staf stasiun riset tenaga ahli tumbuhan dan satwa, serta staf untuk kantor regional. Totalnya ada 200 orang lebih staf dan ranger saat ini", sebutnya.
Selama 7 tahun FKL aktif melakukan perlindungan hutan lindung di Kawasan Ekosistem Leuser, aktivitas perambahan hutan, illegal logging, dan perburuan satwa dilindungi di hutan seluas 2,2 juta hektar itu sudah menurun dari sebelumnya.
Hingga 2019, tercatat para ranger telah berhasil merusak dan mengamankan 5 ribu lebih jerat atau perangkap satwa dilindungi yang dipasang pemburu di dalam kawasan tersebut.
"Indikatornya dengan berhasil kita rusak dan amankan 5 ribu lebih berbagai jenis perangkap satwa itu dapat mengurangi ancaman terhadap keselamatan satwa. Kemudian khusus di Soraya, illegal logging berkurang hingga 90 persen sekarang. Kalau dulu sebelum FKL aktif sepanjang sungai Lae Soraya penuh dengan rakit tumpukan kayu ilegal," sebutnya.
Selain menangani hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser Soraya, sejak Agustus 2016, FKL juga telah membangun kembali stasiun riset untuk para peneliti satwa dan tumbuhan, baik dari mahasiswa lokal maupun mancanegara.
"Mahasiswa doktor yang melakukan penelitian di Soraya dari Amerika dan Inggris ada 5 orang, dari Unsyiah dan Uin Arraniry Banda Aceh ada 7 orang. Untuk mahasiswa lokal kita prioritaskan, bahkan setiap tahun kita adakan field trip pengenalan untuk mereka", jelasnya. KONTRIBUTOR KOMPAS TV ACEH, RAJA UMAR