BANGUN, KOMPAS.com - Kala pemerintah di seluruh dunia bergulat mengatasi momok plastik sekali pakai, namun tidak bagi masyarakat Bangun yang melihat sampah plastik layaknya uang.
Bangun, sebuah desa di Mojokerto, Jawa Timur, telah lama menjadi tempat pemilahan sampah-sampah daur ulang dari berbagai negara.
Sekitar dua per tiga masyarakat Bangun mencari nafkah dengan menyortir dan menjual barang-barang bekas yang bisa didaur ulang seperti sampah botol, pembungkus, hingga gelas.
Keman, adalah salah satu contoh dari sekian banyak warga Bangun yang merasakan langsung manfaat ekonomi dari pekerjaannya menyortir sampah.
"Saya punya tiga anak, semuanya masuk universitas," ujar Keman dengan bangga, seperti dikutip Kompas.com dari AFP.
"Dan semua itu dimungkinkan berkat kerja keras saya memulung sampah," jelas pria 52 tahun itu.
Sekitar 40 truk pengangkut setiap harinya melaju ke Bangun untuk menyuplai sampah.
Sampah-sampah itu ditimbun di luar rumah orang-orang atau di ladang yang luas hingga membentuk gunungan yang bisa mencapai setinggi atap rumah.
Selama bertahun-tahun, beberapa pabrik kertas lokal memasok sampah ke Desa Bangun, yang tak jarang bercampur dengan sisa kertas yang memang diimpor secara legal.
Warga memilah sampah-sampah itu dengan tangan kosong, hanya bermodal garpu dan sekop.
Sejak China menutup keran impor sampah dari berbagai negara, Indonesia dan sejumlah negara lain di Asia kian banyak menerima imbas kiriman sampah-sampah asing dari negara Barat.
Sementara para aktivis lingkungan dan negara-negara yang menjadi korban sampah impor terus melakukan pertentangan, hal sebaliknya justru terjadi di Bangun.
"Sampah seperti harta di sini," kata Keman.
"Kenapa? Karena setelah kita mengeringkannya di pagi hari dan mengurutkannya, itu akan dikonversi menjadi uang pada malam hari," ujarnya.
Sumber: AFP