BANDUNG, KOMPAS.com - Kota Bandung, Jawa Barat, merupakan salah satu wilayah dengan status zona merah. Permintaan plasma konvaselen pun meningkat seiring peningkatan kasus Covid-19.
Kepala Unit Transfusi Darah (UTD) Palang Merah Indonesia (PMI) Uke Muktimanah meminta penyintas Covid-19 dengan gejala sedang dan berat yang saat ini sudah sembuh untuk mendonorkan plasma konvalesennya.
Dikatakan, meski plasma konvalesen ini belum selesai secara uji klinisnya, namun berdasarkan sample pada masa SARS, plasma konvaselen memiliki khasiat yang cukup baik.
Saat ini plasma konvalesen dapat digunakan untuk membantu penderita Covid-19 sebagai alternatif terapi tambahan untuk membentuk antibodi.
"Plasma ini efektif untuk pasien ringan dan sedang, untuk membentuk antibodi," kata Uke ditemui di Kantor PMI, Jalan Aceh, Kota Bandung, Senin (5/7/2021).
Dijelaskan, kenaikan permintaan konvalesen ini dimulai pada 1 Juni 2021 lalu, seiring kenaikan kasus Covid-19.
"Pernah sampai 581 permintaan. Namun hal ini masih harus diklarifikasi lagi karena ada beberapa pasien yang akhirnya meninggal," ucapnya.
Di PMI, permintaan ini dibagi tiga kategori, yakni permintaan yang sudah terpenuhi tapi masih didata untuk menentukan target, permintaan yang belum terpenuhi sama sekali, dan permintaan yang sudah terpenuhi.
"Melihat angka kematian mungkin juga menurun angka permintaanya," ujarnya.
Namun untuk memenuhi plasma konvalesen ini harus melalui beberapa proses, mulai dari pencarian pendonor, penyeleksian, screening, pemeriksaan dan beberapa tahapan lainnya untuk mendapatkan plasma konvalesen yang baik dan berkualitas.
"Itu kita penuhi tahapannya, titer antibodi itu seleksinya cukup sulit karena hasil pengalaman titer yang bagus dari donor penyintas Covid-19 bergejala berat tapi sembuh. Itu lebih bagus dengan kurun waktu 2 minggu sampi 12 minggu," ungkapnya.
Selain itu, pengambilan plasma konvalesen pun baiknya dari jenis kelamin laki-laki berusia 17-60 tahun dengan berat badan dan tipe antibodinya yang bagus.
"Kalau perempuan dia tidak pernah hamil, itu syaratnya. Sehingga permintaan tak seimbang dengan perolehan donornya," ucapnya.
Untuk mencari pendonor pun cukup sulit, karena stigma penyintas Covid-19 ini masih cukup kuat di kalangan masyarakat.
"Banyak dari penyintas ini pengen gak ketahuan (pernah terpapar covid)," ujarnya.
Untuk itu pihaknya kerap berkoordinasi dengan pihak rumah sakit untuk mengedukasi penyintas Covid-19 mendonorkan plasma konvalesennnya ke PMI.
Pihak PMI pun pernah membuat sebuah program gerakan penyintas, saat itu bekerja sama dengan salah satu BUMN. Namun mengingat stigma penyintas saat itu masih kuat di kalangan masyarakat maka upaya tersebut pun kurang maksimal.
Untuk itu, pihaknya berharap ada edukasi kepada masyarakat melakui iklan televisi ataupun media lainnnya yang memberikan muatan informasi tersebut.
Meski begitu, saat ini pihaknya menargetkan mendapatkan 20-30 pendonor untuk memenuhi permintaan.
"Dari 20 pendonor ini kita bisa dapatkan 50-60 labu, satu pendonor bisa 400-600 cc, berarti dua labu tergantung tinggi berat badan dari pendonor," ujarnya.
Bahkan untuk memaksimalkan jumlah labu plasma konvalesen, pihaknya kini telah menambah tiga alat produksi yang dioperasikan masing-masing oleh satu tenaga kesehatan.
Namun untuk respons plasma terhadap tubuh, katanya, itu tergantung dari tubuh masing-masing pasien.
"Virus itu tergantung pada tubuh masing-masing. Orang happy lebih cepat responsnya dan lebih baik daripada yg stres," tuturnya.