PALEMBANG, KOMPAS.com - Mantan Bupati Musi Banyuasin (Muba) Dodi Reza Alex Noerdin membantah bahwa dirinya menerima fee Rp 2,6 miliar dari terdakwa Suhandy (sudah vonis) yang merupakan Direktur PT Selaras Simpati Nusantara (SSN).
Bantahan itu diungkapkan Dodi dalam sidang pemeriksaan saksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palembang, Senin (6/6/2022).
Dodi mengatakan, dalam kasus ini ia tak sedikitpun menerima uang atau fee dalam kasus proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemerintah Kabupaten Muba.
"Saya tidak pernah menerima," tegas Dodi.
Menurut Dodi, ia tak mengatur nama siapapun sebagai pemenang tender proyek di Dinas PUPR Muba seperti yang dituduhkan.
Ia mengenal Suhandy dari terdakwa Herman Mayori yang merupakan Kepala Dinas PUPR Muba. Herman saat itu membawa Suhandy ke Jakarta untuk menemuinya.
"Di apartemen (Jakarta) saya sedang rapat zoom meeting. Tiba-tiba di sela oleh ajudan dan Suhandy ini masuk dibawa oleh Herman. Saya agak marah, karena tidak ada janji apapun dengan Herman ini," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, perbincangan Dodi dan Suhandy hanya berlangsung dua menit. Saat itu, Suhandy mengutarakan bahwa dirinya hendak mengambil proyek di Muba untuk membuat danau.
"Langsung saya tanya apakah kamu yang kerjakan proyek bermasalah di (Kabupaten) Pali?. Dia menjawab bukan, oleh karena itu dia (Suhandy) saya perbolehkan ikut lelang," jelasnya.
Saat lelang berlangsung, Dodi mengaku tak mengetahui bahwa Suhandy adalah pemenangnya.
Ia baru mengetahui Suhandy pemenang tender proyek, saat terjadinya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Muba pada Jumat (15/10/2021).
Ketika kejadian berlangsung, Dodi mengaku sedang berdinas di Jakarta.
"Malam saya dapat kabar OTT di Muba. Kemudian penyidik dari KPK meminta saya datang untuk dimintai keterangan, saya pun langsung datang ke sana," jelas Dodi.
Saat datang, seorang penyidik KPK menanyakan keberadaan ajudannya bernama Mursyid.
Dodi lantas mengatakan bahwa Mursyid sedang ia tugaskan untuk mengantarkan uang Rp 1,5 miliar kepada seorang pengacara bernama Susilo.
Uang tersebut merupakan milik ibunya untuk membayar jasa pengacara karena ayah kandungnya Alex Noerdin terjerat kasus dugaan korupsi pembelian gas Bumi oleh PDPDE dan pembangunan Masjid Sriwijaya.
"Penyidik itu kemudian bilang, agar ajudan saya datang ke sini (gedung KPK) lalu saya telpon dan perintahkan untuk datang. Ajudan saya datang ke KPK naik taksi. Karena uangnya itu banyak, ajudan saya foto-foto taksi tersebut karena takut taksinya kabur. Saat lagi foto-foto, mobil petugas KPK datang dan memeriksa mobil taksi dan melihat uang tersebut," jelas Dodi.
Uang untuk membayar jasa pengacara Alex Noerdin pun disita penyidik sebagai barang bukti karena diduga merupakan fee proyek di Dinas PUPR Muba.
Akan tetapi, Dodi membantah keras bahwa uang itu adalah fee proyek.
"Uang itu milik ibu saya hasil menjual perhiasan dan pinjaman ke keluarga untuk jasa pengacara. Itu bisa dibuktikan," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Dinas PUPR Muba Herman Mayori mengaku, Dodi mendapatkan jatah fee 10 persen dari proyek di Muba.
Fee Rp 2,6 miliar itu diberikan oleh Herman Mayori secara bertahap melalui staff khusus Dodi bernama Badrul Zaman alias Acan.
"Saya berikan kepada Irfan (saksi) kemudian Irfan yang memberikan ke Acan. Pemberian pertama itu Januari 2021 Rp 1 miliar yang diberikan dalam bentuk mata uang asing. Baru Rp 1,6 miliar lagi diberikan kembali juga bentuk mata uang asing," ungkapnya.