KAPUAS HULU, KOMPAS.com - Mulut Muhammad Wasir (65) terlihat berkomat kamit. Perlahan, dari mulutnya kemudian terdengar suara lantunan syair yang disenandungkan. Alunan syair itu kemudian disahut oleh beberapa orang lainnya yang saat itu berada diatas perahu bermesin.
Tangan kanan Wasir terlihat memegang seikat akar kayu Menyadin (bahasa lokal) yang ujungnya sudah di bakar. Sedangkan dua rekan Wasir lainnya, Lasandi dan Suryadi terlihat membuat bara api di sebuah bekas wadah panci yang terbuat dari aluminium.
Matahari semakin terik. Waktu saat itu, Jumat (27/10/2017) sudah menunjukkan pukul 12.45 siang.
Wasir kemudian memakai topi yang dimodifikasi dengan jaring kecil, sekilas wajahnya tak terlihat. Tak lupa, ia mengenakan jaket dan pelampung badan sebagai pelindung.
Ketika asap mulai mengepul, Wasir kemudian mengarahkan kedua rekannya untuk menuju ke salah satu pohon jenis Putat yang terdapat sarang lebah. Ya, di pohon itu, terdapat sarang lebah madu hutan (Apis Dorsata) yang menempel di dahan buatan.
Dahan buatan itu disebut Tikung, terbuat dari batang kayu yang dibelah berukuran lebar 20-30 sentimeter dengan panjang 1,5-2 meter. Tikung tersebut sengaja di taruh di pepohonan, yang ditujukan untuk lebah Apis Dorsata membuat sarang.
Perlahan, dari atas perahu Wasir kemudian mulai memanjat pohon berdahan kecil itu. Seorang rekannya turut menemani Wasir naik ke atas dengan membawa sebuah wadah penampung madu.
Sambil memanjat pohon, Wasir terus melantunkan syair demi syair senandung tadi. Perlahan, lebah-lebah yang mengerumuni sarang mulai pergi, menjauh dari asap.
Ketika tiba di atas, Wasir kemudian mengiris sarang lebah yang sudah terisi madu, kemudian memindahkan potongan irisan tersebut ke dalam wadah.
Begitulah sekilas gambaran proses awal kearifan lokal masyarakat Dusun Batu Rawan, Desa Semangit, Kecamatan Selimbau, Kabupaten Kapuas Hulu saat akan memulai panen madu hutan.
Jurnalis Kompas.com bersama sejumlah jurnalis dari berbagai media berkesempatan menyaksikan dan mengikuti proses panen madu hutan secara langsung di desa yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Danau Sentarum ini.
Proses panen madu hutan yang dilakukan oleh masyarakat yang tergabung dalam Asosiasi Periau Danau Sentarum ini dilakukan pada siang hari. Periau adalah kelompok petani madu yang jumlah anggota nya berkisar 5-7 orang dalam satu kelompok.
Di kawasan Danau Sentarum, lebah Apis Dorsata bersarang pasa Tikung di pohon-pohon kecil yang selalu tergenang air jika musim penghujan, salah satunya jenis pohon Putat. Sehingga, untuk menuju ke sarang, harus menggunakan perahu.
*Pengolahan Paska Panen*
Presiden APDS, Basriwadi atau yang disapa Uge menjelaskan, setelah dipanen sarang lebah yang berisi madu tersebut kemudian dipisahkan dari lebah.
APDS merupakan kumpulan dari kelompok petani madu hutan di Desa Semangit yang terbentuk sejak tahun 2006.
Dulu, proses panen dilakukan pada malam hari dengan mengambil semua sarang yang ada. Sehingga, anak lebah yang ada banyak yang mati jatuh ke air karena sulit menggapai tempat hinggap.
Sejak menggunakan teknik panen lestari, proses panen dilakukan pada siang hari. Sehingga lebah-lebah tersebut beterbangan ke atas dan bisa mencari tempat hinggap yang akan kembali lagi ke sarang dalam beberapa menit setelah proses panen.
Lebah Apis Dorsata di Danau Sentarum bukan lebah budidaya, sehingga perlu dijaga habitat dan keberadaannya.
Sebelum terbentuknya APDS dan pendampingan dari lembaga swadaya masyarakat yang bekerja di Kapuas Hulu, proses paska panen dilakukan dengan cara diperas. Sehingga kualitas madu yang dihasilkan kurang bagus dan berwarna keruh.
"Selain itu, rasa madu juga lebih mudah masam dan tidak tahan lama," ujar Uge.
Proses panen juga diawasi dengan sistem internal control system (ICS) yang mengacu pada standar nasional. Untuk panen, para periau di APDS menggunakan teknik panen lestari.
Bagian yang ambil saat panen hanya bagian kepala sarang lebah dan menyisakan anak lebah untuk berkembang biak menghasilkan madu.
Setelah mengambil sarang lebah, selanjutnya adalah memisahkan madu dari sarang lebah dengan sistem tetes. Sarang madu diiris dengan cara dibelah hingga memotong bagian pipa yang menyimpan madu, sehingga madu bisa menetes semua.
Saat ditiriskan, madu disaring menggunakan kain kasa dengan kerapatan yang sangat rapat sehingga menghasilkan madu yang jernih.
"Semua peralatan yang digunakan harus steril, termasuk pisau yang digunakan harus berbahan stenlis dan menggunakan sarung tangan," jelas Uge.
Usai ditiriskan, tahap selanjutnya adalah mengurangi kadar air. Madu dari Danau Sentarum pada umumnya memiliki kadar air berkisar antara 25 hingga 28 persen.
Sehingga, sebelum proses pengemasan, madu tersebut harus dilakukan treatmen untuk mengurangi kadar air (dehumidifikasi), kaarena standar SNI untuk madu adalah dibawah 22 persen.
"Jadi kita juga ada proses mengurangi kadar air," ujar Uge.
Semua proses tersebut, sambung Uge, dilakukan dirumah masing-masing kelompok periau. Namun, tidak lama lagi, proses tersebut akan dilakukan sepenuhnya di rumah produksi yang sedang dibangun.
Pembangunan rumah produksi yang diresmikan Wakil Bupati Kapuas Hulu, Antonius Pamero pada 25 Oktober 2017 yang lalu itu terletak persis disebelah rumah workshop madu hutan yang dibangun hasil kerjasama sejumlah lembaga dalam konsorsium TFCA bersama pihak Taman Nasional Danau Sentarum.
Sedangkan untuk rumah produksi, dibangun dalam program pengelolaan sumber daya alam (PSDA) berbasis masyarakat oleh Proyek Pengelolaaan Sumberdaya Alam Hutan Rawa Gambut dan Pemanfaatan Energi Terbarukan Untuk Meningkatkan Produktivitas Produk-Produk Unggulan Masyarakat di Kabupaten Kapuas Hulu yang dikelola Konsorsium Diantama.
Konsorsium tersebut terdiri dari enam lembaga, yaitu Yayasan Dian Tama, Perkumpulan Kaban, Yayasan Riak Bumi, LPS AIR, Kompakh dan APDS. Dana pembangunan rumah produksi tersebut berasal dari Millennium Challenge Account Indonesia ( MCA-Indonesia), yang merupakan lembaga wali amanat yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia sebagai pelaksana program bantuan dari Amerika.KONTRIBUTOR PONTIANAK, YOHANES KURNIA IRAWAN