KOMPAS.com - Gunung Agung mengalami erupsi ekplosif strombolian disertai lontaran lava dan batu pijar, Senin (2/7/2018) malam.
Kondisi ini juga membuat hutan di sekitar puncak Gunung Agung mengalami kebakaran.
Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil Syahbana menjelaskan, tingginya aktivitas Gunung Agung beberapa hari berlakangan bukanlah dibangun dalam sehari.
Pihak PVMBG telah mengamati adanya peningkatan tekanan di perut gunung agung sejak 13 Mei 2018.
"Jadi beberapa erupsi hari ini, adalah wujud pelepasan tekanan energi di perut Gunung Agung yang kita sudah amati sebulan terakhir," ujar Devy Kamil Syahbana, Senin malam.
Ia menjelaskan, sejak 28 sampai 29 Juni 2018, Gunung Agung terus mengalami erupsi efusif.
Lava mengalir dan mendingin ketika di permukaan kawah. Lava yang membatu, menyebabkan permukaan kawah jadi keras.
Hal ini menyebabkan magma tertahan dan sulit keluar ke permukaan. Sementara, tekanan suplai magma dari perut gunung terus berusaha keluar ke permukaan.
"Tekanan ini pun terus terakumulasi dan menjadi besar. Jika lapisan penahan dari lava mengeras tadi tidak kuat lagi menahan tekanan magma dari bawah, maka terjadilah letusan strombolian seperti yang terjadi, Senin malam," jelas Devy. TRIBUN BALI