GROBOGAN, KOMPAS.com - Ribuan warga Desa Karanglangu, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, menyeberangi sungai tuntang setempat selebar 15 meter menuju perkampungan seberang di Desa Ngombak, Kecamatan Kedungjati, Grobogan, dalam tradisi "Asrah Batin", Minggu (29/7/2018).
Dalam tradisi budaya yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam ini, warga Desa Karanglangu berduyun-duyun melintasi sungai berarus deras sedalam 70 sentimeter yang membelah Desa Karanglangu dan Desa Ngombak.
Sementara itu, warga Desa Ngombak menyambut kedatangan warga Desa Karanglangu dengan pelayanan yang maksimal. Mulai dari mempersiapkan sejumlah relawan yang berjaga-jaga di sungai sebut saja TNI, Polri dan perwakilan warga. Para tamu juga dimanjakan dengan hiburan kesenian serta suguhan hidangan khas Jawa yang beraneka ragam.
Dalam tradisi yang digelar setiap dua tahun sekali ini, Kepala Desa Karanglangu dan perangkat Desa Karanglangu dijemput oleh pihak Desa Ngombak menggunakan rakit yang dihias sedemikian rupa.
Adapun warga Desa Karanglangu, baik tua maupun muda, menyeberangi sungai dengan berjalan kaki secara hati-hati dengan dibantu pengawalan warga Desa Ngombak.
Tradisi Asrah Batin ini dimulai sejak pagi hingga siang hari. Ribuan pengunjung berkerumun di sekitar lokasi sungai besar itu untuk menyaksikan tradisi yang unik dan menarik ini. Suasana kekaraban antara dua desa yang terpisah dengan bentangan sungai tuntang ini kental terasa.
Warga Desa Ngombak yang telah lama menunggu kedatangan warga Desa Karanglangu menyongsong dengan penuh kehangatan. Sesampainya di Desa Ngombak yang dipusatkan di Balai Desa dan lapangan setempat, hajatan besar telah menanti mereka.
Hadir dalam kegiatan ini Bupati Grobogan Sri Sumarni beserta jajarannya serta Ketua DPRD Kabupaten Grobogan Agus Siswanto.
"Tradisi Asrah Batin merupakan peninggalan budaya Kabupaten Grobogan yang sarat akan makna toleransi. Tradisi ini patut dilestarikan sebagai penanda bahwa warga Grobogan adalah orang-orang yang berbudi luhur," kata Bupati Grobogan Sri Sumarni.
Kedhana dan Kedhini
Tradisi Asrah Batin erat hubungannya dengan kepercayaan warga tentang sosok Kedhana dan Kedhini, yaitu Raden Sutejo dan Roro Musiah yang diyakini sebagai leluhur pendiri Desa Karanglangu dan Desa Ngombak.
Menurut mitologi, Kedhana dan Kedhini adalah saudara kandung. Mereka terpisah sewaktu keduanya masih kecil.
Keduanya berkelana secara terpisah melewati hutan dan sungai, hingga akhirnya Kedhana berhenti dan menetap di suatu desa yang diberi nama dengan Desa Karanglangu.
Sedangkan Kedhini berhenti dan menetap di suatu desa yang diberi nama Desa Ngombak. Singkat cerita setelah keduanya dewasa, mereka pun bertemu hingga saling jatuh cinta dan hampir menikah.
Pernikahan itu akhirnya urung terjadi setelah terungkap bahwa mereka adalah kakak beradik yang telah lama terpisah.
Kepala Desa Ngombak, Kartini, menyampaikan, secara turun temurun tradisi Asrah Batin ini dilaksanakan pada Minggu Kliwon untuk mengenang Kedhana dan Kedhini.
"Asrah Batin" sendiri merupakan kata lain dari "Pasrah Batin". Berusaha ikhlas dengan kenyataan yang terjadi.
Pasrah Batin juga pengejawantahan dari rasa syukur kepada Sang Khalik. Karena atas izin Sang Pencipta, pernikahan terlarang antara saudara sekandung tersebut akhirnya urung terjadi.
"Rencananya rombongan Desa Karanglangu hendak mengantar Kedhana melamar Kedhini di Desa Ngombak. Namun nasib berkata lain, prosesi pernikahan gagal dan diganti menjadi hajatan syukuran karena ternyata Kedhana Kedhini adalah saudara kandung yang lama terpisah.
Bentuk syukur kepada Tuhan yang telah membuka tabir. Momen sedih dan bahagia bercampur menjadi satu," ungkap Kartini.
Dilarang saling menikah
Tokoh Masyarakat Desa Ngombak, Mahfud, mengatakan, kisah sepak terjang hubungan sedarah antara Kedhana dan Kedhini yang mewarnai desa mereka bukan omong kosong belaka. Selain dibuktikan dengan keberadaan makam dan petilasan.
Terbukti juga sejak turun temurun, pemuda-pemudi warga Desa Karanglangu dan warga Desa Ngombak dilarang untuk saling mencintai maupun mengikat janji suci menuju ke jenjang pernikahan.
"Warga Desa Karanglangu dan Ngombak adalah saudara tua dan muda. Turun temurun laki-laki dan perempuan dari dua desa itu tidak diperbolekan untuk saling menikah. Warga percaya jika melanggar akan ada musibah. Dahulu pernah ada yang melanggar dan meninggal dunia. Hingga saat ini belum ada yang berani melanggar. Kami pun menjaga tradisi itu. Wallahu alam," terang Mahfud. KONTRIBUTOR GROBOGAN, PUTHUT DWI PUTRANTO NUGROHO