KEPULAUAN MERANTI, KOMPAS.com - Tahun 2014 kebakaran hutan dan lahan gambut di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau terjadi selama 3 bulan.
Masyarakat Sungai Tohor berjibaku siang dan malam memadamkan api yang menghanguskan hutan desa di sana.
Bagi warga Sungai Tohor, sagu tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Selain sebagian besar warga adalah petani sagu, masyarakat setempat memanfaatkan sagu sebagai sumber pangan lokal.
Tak heran jika tual-tual sagu di kanal gambut dan kilang pengolahan sagu menjadi pemandangan yang jamak ditemukan di Sungai Tohor.
Setidaknya ada 14 kilang sagu di Sungai Tohor. “Kilang di Sungai Tohor mengasilkan sagu basah sekitar 25-30 ton per 12 hari per kilang,” ujar Abdul Manan, tokoh masyarakat di Sungai Tohor.
Selain untuk pasar lokal, sagu-sagu dari Sungai Tohor sebagian besar diekspor ke Malaysia.
Di pasar lokal sagu di Sungai Tohor banyak dimanfaatkan untuk bahan pembuatan mi sagu. Beberapa warga juga mengolah sagu menjadi sagu lemak, sagu telur, dan kue sagu.
Sagu basah kotor dari kilang dijual dengan harga Rp 1.600 - Rp 2.000 rupiah per kilogram, sedangkan sagu basah bersih Rp 4.000 per kilogram.
Di pulau gambut seperti Sungai Tohor, sagu menjadi salah satu tanaman adaptif yang menjaga ekosistem lahan gambut.
Lahan gambut di Sungai Tohor perlahan kini pulih pasca-kebakaran. Presiden Joko Widodo datang menyambangi warga, memberikan bantuan untuk membangun sekat kanal di sana.
Kemarin Selasa (16/2/2020), sentra sagu terpadu di Sungai Tohor diresmikan dan mulai beroperasi.
Di sentra sagu terpadu, sagu diolah menjadi tepung sagu. Harapannya pemerintah bisa menyerap hasil sagu yang diolah di sana, harga sagu lebih kompetitif, dan perekonomian masyarakat Sungai Tohor semakin meningkat.