JAKARTA, KOMPAS.com - Kabut pagi masih menyelimuti pos tiga jalur pendakian Gunung Tambora via Doro Ncanga, Minggu (22/3/2015) silam.Â
Harusnya subuh tadi tim naik ke puncak Tambora untuk menyelesaikan pendakian dalam rangka ekspedisi 200 tahun letusan Gunung Tambora.
Namun pendakian harus ditunda, salah satu anggota tim, Sasha mengalami gejala hipotermia ringan.
Tim ekspedisi Kompas.com terpaksa harus dibagi menjadi dua.
Aku (Kristianto Purnomo) dan reporter Wahyu Adityo Prodjo kebagian menyelesaikan pendakian ke puncak Tambora ditemani dua orang porter.Â
Sisanya empat orang terpaksa harus turun menyelesaikan liputan di Danau Satonda untuk mengejar waktu.
Kami berdua naik sekitar pukul 10.00 WIT, butuh sekitar dua jam untuk mencapai puncank Tambora.
Jalur menuju puncak Tambora dari jalur Doro Ncanga relatif ringan dibandingkan pendakian di beberapa gunung di Pulau Jawa.
Apalagi untuk sampai ke pos tiga, bisa ditempuh dengan menggunakan jip. Tim ekspedisi sengaja mencapai pos tiga mengunakan mobil dari sponsor dan jip milik warga sebagai mobil evakusai.
Pejalanan ke puncak Tambora kali ini sangat santai, target kami adalah mendokumentasikan matahari terbit besok pagi.
Sekitar tiga kali kami istirahat, menghisap sebatang rokok dan melepas dahaga sejenak lalu melanjutkan perjalanan.
Tiba di puncak Tambora hari masih siang, kami melepas lelah di bibir kaldera Tambora.Â
Dari sana kaldera dengan diameter 7 kilometer dan kedalaman sekitar 1 kilometer, tampak luas sepanjang mata memandang.
Letusan Tambora mengubah dunia.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamfford Raffles, mencatatnya dalam memoar "The History of Java". Ia menggambarkan bunyi letusan Gunung Tambora pada 5 April 1815 kala itu bagai meriam.
Raffles mengutus Letnan Owen Phillips untuk mencari tahu letusan gunung di sisi timur dari Pulau Jawa.Â
Phillips menemui Raja Sanggar yang selamat dari "amarah" Gunung Tambora di Pulau Sumbawa.Â
Dalam catatan Phillips, Raja Sanggar menuturkan bahwa pada 10 April 1815 tiga kolom raksasa muncul dari puncak Gunung Tambora dan membubung tinggi.
Letusan dahsyat terjadi dan melenyapkan hampir setengah bagian tubuh Tambora. Tak hannya meluluhlantakkan Sumbawa, letusan tambora juga menewaskan sekitar 80.000 jiwa dan mengubah iklim dunia.
Material vulkanik tersebar ke mana-mana hingga ke Eropa karena embusan angin. Dampaknya, pada 1816 di Eropa tak merasakan musim panas.
Energi letusan Tambora setara dengan 171.428,60 kekuatan bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945.
Selepas tahun 1815, sang Tambora berupsi kembali, tetapi dengan skala yang jauh lebih kecil.
Tercatat pada 1819, selama 1847-1913 yang membentuk kerucut Doro Afi Toi, dan terakhir kali pada 1967.Â
Anak gunung yang baru terbentuk tak dapat terlihat dari bibir kaldera jalur Doro Ncanga.Â
Jika dilihat dari jalur Pancasila, Doro Afi Toi dapat terlihat. Tambora tidak benar-benar mati. Ia hanya tertidur sebentar. Seakan menanti waktu untuk terbangun dan kembali menunjukkan kedahsyatannya kembali.Â