JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal melakukan koordinasi dan supervisi dengan pihak TNI terkait penanganan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Augusta Westland (AW)-101.
Koordinasi itu dilakukan lantaran KPK telah menemukan bukti yang cukup untuk menahan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway yang merupakan pihak swasta.
Irfan merupakan merupakan tersangka tunggal kasus korupsi pengadaan Helikopter AW-101 di TNI AU pada 2016-2017. Dalam kasus ini belum ada tersangka dari pihak penyelenggara negara.Â
"KPK di dalam Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 di dalam pasal 6 huruf D ada itu. KPK melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan korupsi, termasuk pihak rekan-rekan TNI," ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Firli mengatakan, lembaganya bisa meninjau atau melakukan supervisi penanganan perkara yang juga diusut Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Adapun pihak TNI menetapkan lima orang tersangka yang berlatar belakang militer terkait kasus ini. Akan tetapi dalam perkembangannya Puspom TNI menghentikan penyidikan terhadap tersangka tersebut.
"Di dalam Pasal 8 huruf A itu lebih jelas lagi. Dalam Pasal 8 huruf A UU Nomor 19 tahun 2019 disebutkan bahwa KPK tugasnya mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntuan tindak pidana korupsi. Artinya, tentu kita harus laksanakan amanat UU itu," terangnya.
Firli menjelaskan, lembaganya dapat menangani siapa pun pihak yang terlibat kasus korupsi berdasarkan aturan Undang-Undang tentang KPK.
Berdasarkan aturan Pasal 11 Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, KPK dapat mengusut kasus korupsi dengan subyek hukum penyelenggara negara dan aparat penegak hukum. Akan tetapi, Pasal tersebut bukan kumulatif.
Menurut Firli, penjelasan Pasal UU KPK itu juga menyebutkan bahwa KPK dapat menjerat siapa pun pihak yang diduga menyebabkan terjadinya kerugian negara.
"KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. ada syaratnya dua, aparat penegak hukum atau penyelenggara negara atau pihak terkait, Oke, di kalimat berikutnya ada 'dan atau titik koma', menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 1 miliar di Ayat 2 nya," terang Firli.
"Itu di Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019. Kalau bicara dan atau, tentulah kawan-kawan sudah paham itu bukan komulatif, boleh alternatif ya," ucapnya.
Dalam kasus ini, Irfan diduga telah merugikan negara sebesar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738, 9 miliar akibat pengadaan helikopter angkut tersebut.
Atas perbuatannya Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagai informasi, pihak TNI telah menetapkan lima tersangka yang berlatar belakang militer terkait pengadaan helikopter angkut AW-101 ini.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.
Kemudian, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Dalam perkembangannya, penyidikan kasus pengadaan helikopter AW-101 untuk tersangka dari TNI dihentikan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.