JAKARTA, KOMPAS.com - Bioskop Mulia Agung di kawasan Senen, Jakarta Pusat kini tinggal kenangan.
Pasalnya, salah satu tempat hiburan favorit warga Jakarta itu tutup secara permanen sejak awal tahun 2015.
Kompas.com berkesempatan untuk menelusuri jejak bioskop itu pada Kamis (14/3/2019) dengan ditemani salah satu proyeksionis film Bioskop Mulia Agung bernama Danny Mulyana.
Menurut Danny, gedung bioskop itu dibangun sejak tahun 1920-an dan menjadi salah satu tempat hiburan favorit pada tahun 1970 hingga 2000-an.
Gedung bioskop itu terdiri dari dua lantai, yakni Bioskop Mulia Agung di lantai dua dan Bioskop Grand Mulia di lantai pertama.
Bioskop Mulia Agung mempunyai tiga ruangan, sementara Bioskop Grand Mulia mempunyai dua ruangan.
"Gedung Mulia Agung itu sudah lebih dulu ada. Sementara Bioskop Grand Mulia baru ada sejak tahun 1980-an," kata Danny kepada Kompas.com.
Memasuki lobi bioskop, tampak mesin-mesin ATM berdebu yang diletakkan berjejer di depan loket pembelian tiket. Cat pada dinding loket pun sudah mengelupas.
Hanya tampak tulisan 'Hanya Grand 1' dan jadwal pemutaran film di depan loket pembelian tiket.
"Hari ini jam pertunjukan 15.00-17.00-19.00-21.00," demikian bunyi keterangan di depan loket pembelian tiket tersebut. Jadwal tersebut berlaku ketika bioskop masih beroperasi.
Sembari menelusuri lobi bioskop itu, Kompas.com melewati lantai berdebu dan tercium aroma ruangan yang berdebu.
Perjalanan pun dilanjutkan ke ruangan Grand 1. Kompas.com hanya bisa memasuki ruangan Grand 1 di lantai pertama lantaran ruangan bioskop lainnya telah rusak.
Sesampainya di sana, suasana gelap dan berdebu langsung menyambut.
Kompas.com harus menyalakan cahaya dari telepon genggam agar dapat menelusuri ruangan tersebut.
Ruangan Grand 1 tampak luas. Danny menyebut, ruangan tersebut dapat menampung 1.500 penonton.
"Dulu bisa menampung sampai 1.500 penonton. Kalau saya dulu bertugas di sebuah ruangan di atas kursi-kursi penonton. Bertugasnya kan sebagai proyeksionis film," ujar Danny.
Kursi-kursi penonton tampak berdebu dan tak terurus. Kayu-kayu atap ruangan juga berceceran di lantai.
Mesin-mesin ATM turut diletakkan berjejer di depan layar pemutaran film.
Suasana mencekam menyelimuti ruangan gelap tersebut. Tak ada suara apapun di ruangan tersebut.
Perjalanan berlanjut menuju ruangan proyektor. Mesin-mesin proyektor tampak usang, berkarat, dan berdebu.
Untuk mencapai ruangan itu, Kompas.comharus melewati tangga kayu yang terdiri dari enam anak tangga.
Adapun ruangan proyektor tersebut berdekatan dengan tempat peletakan poster-poster film yang dapat dilihat dari sisi Jalan Senen Raya.
"Dulu poster-poster film yang sedang tayang diletakkan di sini (sambil menunjuk lokasi poster). Saat ini, poster-poster tersebut masih ada yang saya simpan, namun ada juga yang sudah hilang," ujar Danny.
Danny pun masih menyimpan sejumlah poster film yang biasanya ditempel di depan ruanganbioskop, seperti poster film Emak Pengen Naik Haji dan Timang-timang Anakku Sayang, sebuah film produksi tahun 1973.
Semua poster-poster itu disimpan di sebuah lemari kayu yang diletakkan di depan ruangan bioskop Grand 1.
Sementara lokasi restoran di sisi kiri ruangan Grand 1 kini telah berubah jadi lahan parkir mobil-mobil pemilik bioskop.
Menurut Danny, anak dari pemilik BioskopMulia Agung masih sering mengunjungi tempat tersebut setiap enam bulan.
"Mobil-mobil itu milik Bapak Solehudin (pemilik Bioskop Mulia Agung). Mereka masih sering datang setiap enam bulan sekali atau tiga bulan sekali lah," ujar Danny.
Namun, Kompas.com tidak dapat menyusuri ruangan lainnya lantaran harus mendapatkan izin dari pemilik bioskop tersebut. RINDI NURIS VELAROSDELA