NAYPYIDAW, KOMPAS.com – Sedikitnya 18 orang tewas dan 30 lainnya terluka dalam aksi demonstrasi di Myanmar pada Minggu (28/2/2021).
Hari itu disebut sebagai hari paling berdarah dalam serentetan aksi protes menentang kudeta militer 1 Februari yang menggulingkan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
Jika ditotal, jumlah pengunjuk rasa yang tewas sejak kudeta militer menjadi sedikitnya 21 orang. Hal itu disampaikan Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dilansir Reuters.
Aksi demonstrasi menolak kudeta militer pada Minggu tersebut dilaporkan berubah menjadi kerusuhan. Militer Myanmar mengatakan, seorang polisi juga tewas dalam kerusuhan.
Pihak berwenang tidak menanggapi permintaan untuk mengomentari kekerasan yang terjadi pada Minggu.
Global New Light Of Myanmar yang dikelola negara mengatakan, tentara sebelumnya telah menunjukkan pengekangan, tetapi tidak bisa mengabaikan massa yang anarkistis.
Corong junta militer itu menambahkan, tindakan keras pasti akan diambil terhadap pengunjuk rasa yang rusuh.
Salah satu pengunjuk rasa yang tewas dalam kerusuhan tersebut adalah seorang insinyur jaringan internet bernama Nyi Nyi Aung Htet Naing.
Sebelum tewas, dia sempat membuat unggahan di Facebook mengenai tindakan keras dari junta militer yang semakin meningkat terhadap pengunjuk rasa di Myanmar.
“#How_Many_Dead_Bodies_UN_Need_To_Take_Action,” tulisnya di Facebook, mengacu pada PBB.
Nyi Nyi Aung Htet Naing ditembak beberapa ratus meter dari Persimpangan Hledan di Yangon, tempat aksi protes biasa digelar.
Video dari sebuah apartemen di lantai atas merekam suara tembakan saat Nyi Nyi ambruk di luar gerbang sekolah menengah Kamaryut.
Beberapa pengunjuk rasa berlari melewati mayat itu sebelum akhirnya lima orang dengan keberaniannya membawanya pergi. Namun, nyawa Nyi Nyi tak terselamatkan.
Seorang pejabat PBB yang berbicara tanpa menyebut nama mengatakan, Nyi Nyi adalah satu dari setidaknya lima orang yang terbunuh di Yangon. Salah satu korban tewas di Yangon ditembak di mata.
Seorang guru sekolah menengah meninggal karena dugaan serangan jantung akibat ledakan stun grenade alias granat kejut, kata rekan-rekannya.
Para guru mencoba berkumpul lebih awal, tetapi polisi melemparkan granat kejut dan menyerbu untuk membubarkan protes.
“Banyak yang terluka. Saya tidak punya senjata. Saya hanya datang ke sini untuk memprotes dengan damai. Apa pun yang mereka lakukan, kami harus menerimanya,” kata seorang guru Hayman May Hninsi.