KOMPAS.com – Serangan udara Rusia yang intens membombardir Kota Mariupol meluluhtantakkan kota tersebut hingga menjadi abu.
Pertempuran jalanan dan pengeboman berkecamuk di Mariupol yang dikepung pasukan Rusia, kata seorang pejabat Ukraina pada Selasa (23/3/2022).
Laporan itu disampaikan selang sehari setelah penduduk Kota Mariupol menolak ultimatum dari Rusia untuk menyerah.
Ratusan ribu orang diyakini terperangkap di dalam gedung, tanpa akses ke makanan, air, listrik, atau panas, sebagaimana dilansir Reuters.
Pasukan Rusia dan kelompok separatis yang didukung Rusia telah menguasai sekitar setengah dari kota pelabuhan itu, kata kantor berita Rusia RIA mengutip seorang pemimpin separatis.
Pertempuran jalanan terjadi di kota itu, baik warga sipil maupun tentara Ukraina diserang oleh Rusia, kata pemimpin regional Pavlo Kyrylenko.
"Tidak ada yang tersisa di sana," ujar Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam video pidatonya di depan parlemen Italia.
Wakil Wali Kota Mariupol Sergei Orlov mengatakan kepada CNN bahwa kota itu diblokade penuh dan tidak menerima bantuan kemanusiaan.
"Kota ini dibom terus menerus, dari 50 bom menjadi 100 bom yang dijatuhkan pesawat Rusia setiap hari. Banyak kematian, banyak tangisan, banyak kejahatan perang yang mengerikan," kata Orlov.
Mariupol telah menjadi fokus pada perang yang meletus sejak 24 Februari ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengirim pasukannya menginvasi Ukraina.
Kota Mariupol terletak di Laut Azov dan penaklukkannya memungkinkan Rusia untuk menghubungkan daerah-daerah timur yang dikuasai separatis pro-Rusia dengan semenanjung Crimea yang dianeksasi Mooskwa pada 2014.
Sebuah tim Reuters yang mencapai bagian Mariupol yang dikuasai Rusia pada Minggu (20/3/2022) melaporkan kerusakan kota tersebut.
Reuters juga melihat beberapa jenazah yang terbungkus selimut tergeletak di tepi jalan.
Ukraina melaporkan bahwa peluru, bom, dan rudal Rusia telah menghantam teater, sekolah seni, dan bangunan umum lainnya, mengubur ratusan wanita dan anak-anak yang berlindung di ruang bawah tanah.
Wakil Perdana Menteri Ukraina Iryna Vereshchuk pada Selasa menuntut pembukaan koridor kemanusiaan bagi warga sipil.
Dia menuturkan, setidaknya 100.000 orang ingin meninggalkan Kota Mariupol tetapi tidak bisa.
“Militer kami membela Mariupol dengan heroik. Kami tidak menerima ultimatum. Mereka (Rusia) menawarkan penyerahan diri di bawah bendera putih,” ujar Vereshchuk.
Kyiv menuduh Moskwa mendeportasi penduduk Mariupol dan wilayah Ukraina yang dikuasai separatis ke Rusia.
Ini termasuk "pemindahan paksa" 2.389 anak-anak ke Rusia dari wilayah Luhansk dan Donetsk, kata Jaksa Agung Iryna Venediktova.
Di sisi lain, Moskwa membantah memaksa orang pergi, dengan mengatakan pihaknya menerima pengungsi.
Di Kherson, sebuah kota di bawah kendali Rusia, pejabat Ukraina mengatakan bahwa pasukan Rusia mencegah pasokan mencapai warga sipil.
"300 ribu warga Kherson menghadapi bencana kemanusiaan karena blokade tentara Rusia," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Ukraina Oleg Nikolenko di Twitter.
100.000 warga kelaparan dan kehausan
Presiden Urraina Volodymyr Zelensky menyatakan hampir 100.000 orang kini terperangkap di antara reruntuhan Kota Mariupol di Ukraina, dengan menghadapi masalah kelaparan, kehausan, dan pemboman Rusia tanpa henti.
Presiden mengatakan hal itu saat PBB juga tengah mempertajam tuntutan agar Rusia mengakhiri perangnya di Ukraina.
Human Rights Watch sendiri telah menyampaikan bahwa puluhan ribu penduduk telah meninggalkan kota pelabuhan selatan yang terkepung itu selama invasi Rusia ke Ukraina.
Mereka disebut membawa kesaksian mengerikan tentang serangan Rusia yang membuat banyak warga sipil tewas di mana-mana dan bangunan yang hancur.
Zelensky mengatakan lebih dari 7.000 orang telah melarikan diri dari Kota Mariupol dalam 24 jam terakhir saja.
Namun, satu kelompok penduduk yang bepergian di sepanjang rute kemanusiaan yang disepakati di barat kota ditangkap begitu saja oleh pasukan Rusia.
Dia memperingatkan bahwa ribuan lainnya tidak dapat pergi meninggalkan kota karena situasi kemanusiaan yang memburuk.
“Hari ini, kota itu masih memiliki hampir 100.000 orang dalam kondisi tidak manusiawi. Dalam pengepungan total. Tanpa makanan, air, obat-obatan, di bawah pengeboman terus-menerus dan di bawah pengeboman terus-menerus,” kata Zelensky dalam rekaman video pada Selasa (22/3/2022).
Dia memperbarui seruan kepada Rusia untuk mengizinkan koridor kemanusiaan yang aman bagi warga sipil untuk melarikan diri.
Dikutip dari AFP, citra satelit yang dirilis oleh perusahaan swasta Maxar menunjukkan lanskap Kota Mariupol yang telah hangus, dengan beberapa bangunan sudah terbakar dan asap mengepul dari kota.
Pentagon mengatakan Rusia sekarang memukul Kota Mariupol menggunakan artileri, rudal jarak jauh, dan dari kapal angkatan laut yang dikerahkan di dekat Laut Azov.
Pasukan lokal Ukraina juga melaporkan terjadinya pertempuran darat yang "berat" di Mariupol dengan infanteri Rusia yang menyerbu kota setelah mereka menolak ultimatum untuk menyerah pada Senin (21/3/2022).
Badan-badan bantuan PBB memperkirakan ada sekitar 20.000 korban sipil di kota Mariupol, dan mungkin 3.000 tewas. Tapi, mereka memperkirakan angka korban sebenarnya masih belum diketahui.
Mantan Wali Kota Mariupol Sergiy Taruta bersumpah kota itu tidak akan pernah memaafkan pengepungan Rusia.
"Tidak akan pernah ada cukup kemarahan. Tidak akan pernah ada cukup balas dendam. Tidak akan pernah ada cukup pembalasan," katanya dalam sebuah posting Facebook.
"Untuk semua nyawa yang diambil, nasib yang hancur, untuk semua anak yang terbunuh, air mata dan penderitaan, masing-masing penjajah tidak akan pernah damai," ungkap dia.
Pengepungan Mariupol selama hampir sebulan telah membawa kecaman internasional yang semakin keras.
Sekjen PBB Antonio Guterres pada Selasa (22/3/2022), menyerukan Rusia untuk mengakhiri perang yang tidak masuk akal.
"Bahkan jika Mariupol jatuh, Ukraina tidak dapat ditaklukkan kota demi kota, jalan demi jalan, rumah demi rumah," katanya.
"Perang ini tidak dapat dimenangkan. Cepat atau lambat, perang ini harus berpindah dari medan perang ke meja perdamaian. Itu tidak bisa dihindari," ungkap Guterres.
Mariupol dianggap sebagai target penting dalam perang Presiden Vladimir Putin. Pasalnya, Kota ini menyediakan jembatan darat antara pasukan Rusia di Crimea di barat daya dan wilayah yang dikuasai Rusia di utara dan timur.