KOMPAS.com – Gelombang protes penyerangan Rusia ke Ukraina datang dari berbagai penjuru, termasuk dari masyarakat Rusia sendiri.
Dalam beberapa tahun terakhir, Rusia telah memperketat undang-undang protes dan demonstrasi sering berakhir dengan penangkapan massal.
Meski demikian, masyarakat Rusia tetap turun ke jalan di berbagai daerah, termasuk di pusat Kota Moskow dan Saint Petesburg pada Kamis (24/2/2022).
Aksi protes ini mengakibatkan sejumlah masyarakat Rusia ditangkap oleh pihak kepolisian.
Sebagaimana diberitakan RT, akibat aksi protes ini, polisi di ibu kota Rusia menahan setidaknya 600 orang.
Sementara itu, diberitakan France24, setidaknya lebih dari 1.700 orang yang ditahan di 53 kota di Rusia, dimana lebih dari 900 diantaranya ditangkap di Moskow dan lebih dari 400 di Saint Petersburg.
Terkait penangkapan demonstran di Moskow, Departemen Kepolisian Moskow tak menyampaikan alasan pelanggaran dengan rinci.
Mereka hanya mengatakan penahanan dilakukan dengan alasan berbagai pelanggaran ketertiban umum.
"Tidak ada yang membutuhkan perang ini"
Di Moskow, aksi para demonstran dilakukan di Pusat Lapangan Pushkinskaya.
Berbagai unggahan di media sosial menunjukkan, para demonstran berbaris di sepanjang jalan Tverskaya Moskow, lokasi kantor walikota Moskow berada.
Polisi juga menutup alun-alun dan berusaha membubarkan kerumunan.
Kebanyakan yang melakukan aksi demonstrasi tersebut adalah anak muda.
Dalam aksinya, Mereka meneriakkan slogan-slogan anti perang sembari memegang tulisan yang berbunyi:
“Hentikan perang,”
“Ukraina bukan musuh kita"
“Tidak ada yang membutuhkan perang ini.”
Hampir semua orang yang diwawancara media AFP, kebanyakan orang-orang Rusia menentang terjadinya perang.
"Tentu saja, saya tidak ingin perang. Saya tidak ingin orang mati," kata Yuliya Antonova, seorang guru bahasa Inggris berusia 48 tahun di Saint Petersburg.
"Tidak ada orang waras yang menginginkan perang," ujar Viktor Antipov, yang juga tinggal di Saint Petersburg.
Serangan Rusia
Presiden Rusia Vladimir Putin menyampaikan, serangan ini diperlukan untuk mengamankan perdamaian di Republik Rakyat Donetsk (DPR) dan Lugansk (LPR) yang memisahkan diri dari Ukraina beberapa hari sebelumnya.
Rusia mengakui, DPR dan LPR sebagai sebuah negara independen dari Ukraina.
Rusia juga menandatangani perjanjian bantuan militer, setelah kedua republik tersebut menyebut bahwa Ukraina meluncurkan serangan besar-besaran untuk merebut kedua negara itu dengan paksa.
Pada kenyataannya, Rusia menanggapi hal tersebut dengan melancarkan serangan lebih luas dengan sasaran militer yang dilaporkan menghantam seluruh negeri.
Putin mengklaim, tujuan serangan adalah demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.
Sementara itu, Ukraina bersikeras bahwa agresi yang dilakukan tanpa alasan.