BANDA ACEH, KOMPAS.com - Tak ingin semangat belajar untuk meraih cita-cita anak pemulung terkubur sampah, Maulidar (26), warga Lampulo Banda Aceh bersama sejumlah rekannya rela mengabdikan diri tanpa pamrih untuk mendirikan Taman Edokasi Anak Pemulung.
Sekolah ini adalah wadah pendidikan khusus untuk anak pemulung yang tinggal di kawasan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Gampong Jawa, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.
“Saya prihatin dengan kehidupan anak pejuang lingkungan. Maksudnya pemulung itu bagi saya adalah pejuang lingkungan, tapi hidup mereka sangat memprihatinkan, makanya saya termotivasi untuk memberikan pendidikan kepada anak pemulung,” kata Maulidar kepada Kompas.com, Kamis (8/3/2018).
Motivasi Maulidar mendirikan Taman Edokasi Anak Pemulung itu berawal setelah ia melihat langsung kondisi tempat tinggal keluarga para pemulung, yang sebulumnya tidak pernah ia bayangkan ada warga di Kota Banda Aceh bisa bertahan hidup di permukiman kumuh dengan kondisi serba keterbatasan.
“Saya asli warga Banda Aceh, tapi baru pertama sekali datang ke permukiman pemulung tahun 2012, karena waktu itu ada tugas dari LSM untuk mencari sebuah desa binaan. Setelah melihat kondisi tempat tinggal dan anak mereka saya termotivasi untuk membantu mereka,” katanya.
Karena saat itu Maulidar masih bersataus mahasiswa dan tidak mampu memberikan bantuan dalam materi untuk meringankan beban hidup para pemulung, ia bersama sejumlah rekannya memilih untuk mengabdikan diri mengajar secara gratis anak pemulung. Waktu belajar diambil pada sore hari karena agar mereka tidak ikut orang tua memungut sampah.
“Anak-anak yang sebelumnya pulang sekolah ikut bersama orang tua memungut botol atau barang bekas kami ajak untuk belajar, kami ajarkan semua mata pelajaran, mulai dari mengaji, menghafal doa, menulis, berhitung, dan bahasa Inggris. Dan, alhamdulillah anak-anak sangat antusias, orang tua mereka pun sangat mendukung,” jelasnya.
Dari tahun 2012 hingga kini, setiap tahunnya minat anak-anak pemulung yang ikut bergabung untuk belajar di “Taman Edokasi Anak Pemulung” terus meningkat. Setidaknya saat ini ada 80 anak mulai dari usia dua tahun hingga SMA yang diajari oleh 100 orang lebih relawan dari berbagai latar belakang disiplin ilmu.
“Minat anak yang belajar terus meningkat, kemudian relawan pun terus bertambah. Saya ada buat grup WA, semua anggotanya adalah tenaga pengajar, mereka yang mengajar pun tidak dibayar, hanya pengabdian,” katanya.
Meski “Taman Edokasi Anak Pemulung” sudah lima tahun terbentuk, namun hingga kini para relawan masih mengajarkan anak-anak di ruang terbuka dengan lantai tanah beralaskan tikar seadanya di kawasan Pemukiman Pemulung Gampong Jawa.
“Lokasi belajar di ruang terbuka, sesekali di bantaran sungai, kalau hujan di teras rumah warga mana yang kosng, gitu aja dari dulu,” jelas Maulidar.
Karena dari awal terbentuk “Taman Edokasi Anak Pemulung” fokus pendidikan, hingga kini mereka tidak pernah mengajukan permonah bantuan ke manapun. Namun jika ada pihak yang ingin membantu untuk anak asuhnya itu bisa datang dan langsung menyalurkan kepada mereka.
“Sampai saat ini kami belum ada kas, dan tidak mau kami buat rekening, karena orientasi kami khusus pendidikan untuk mengajarkan mereka. Selama ini memang sudah ada yang memberikan bantuan, mereka kami suruh datang langsung ke sini untuk menyerahkan,” sebutnya.
Meski proses belajar dan mengajar di ruang terbuka dengan kondisi alas tikar seadanya di lantai tanah, namun anak-anak tetap belajar dengan suasana penuh gembira. Bahkan selama belajar di Taman Edokasi Anak Pemulung di Gampong Jawa, sejumlah anak pemulung mulai mendapat prestasi di sekolah mereka.
“Kami senang bisa bersama anak-anak ini, cara mengajarkan mereka pun bebas, tidak ada kurikulum yang baku, sehingga proses belajarnya menyenangkan. Alhamdulillah ada beberapa dari merka sudah mendapat prestasi di sekolah, ada yang dapat ranking 2, 3 dan 5, kami sangat bangga,” ujarnya. KONTRIBUTOR KOMPAS TV ACEH, RAJA UMAR