KOMPAS.com - Tiupan angin sepoi-sepoi mengiringi langkah Odo Hadori (65), selama berjalan menyusuri pematang di tengah persawahan di Kampung Sukasirna, Desa Manggungsari, Kecamatan Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menginjak sisi Sungai Citanduy, Odo menghentikan langkahnya, menatap barisan benda berbentuk roda besar yang berputar perlahan, deretan kincir air yang selama ini menjadi penyelamat para petani dari dampak kemarau panjang.
"Unggal usum halodo urang dieu mah ngadamel kincir, supados sawah teu kagaringan (Setiap musim kemarau warga di sini membuat kincir (air) supaya sawah tidak kekeringan)," ungkapnya.
Bagi petani di kawasan tersebut, kincir air menjadi jalan keluar untuk mengairi lahan persawahan yang terancam puso alias gagal panen kala musim kemarau.
Secara swadaya dan bergoyong-royong warga di sana membuat kincir untuk mengalirkan air dari aliran Sungai Citanduy.
Bahan yang digunakan membuat kincir air pun sangat sederhana menggunakan bambu dan sejumlah papan kayu.
Petani di sana mengatakan bahwa kebiasaan membangun kincir air saat kemarau melanda sudah menjadi kebiasaan turun temurun sejak 1960 silam.
"Ini (merupakan) melanjutkan kebiasaan turun temurun dari orang tua dari tahun 1960. Memang ada irigasi kecil tapi tidak mencukupi kebutuhan air di sawah sini," ungkap Odo, yang juga merupakan Ketua Kelompok Tani Sarimukti, di Desa Manggungsari.
Odo menjelaskan, terdapat sedikitnya 10 hektare sawah di sana. Sedangkan satu kincir air bisa mengairi sekitar setengah hektare lahan sawah. Sejauh ini para petani di sana sudah membangun tiga unit kincir air yang rata-rata berdiameter 5-5,5 meter.
"Kalau (estimasi) biaya sekitar Rp1 juta untuk membuat satu kincir. Tapi kan bahan utama yakni bambu di sini melimpah kemudian dikerjakan juga secara bergotong royong," jelas Odo saat ditanya soal biaya.
Biaya tersebut lanjutnya, lebih hemat dibandingkan dengan cara menyedot air menggunakan mesin.
"Kalau pakai mesin harus menambah biaya bahan bakar dan operasionalnya. Kalau ini, sekali bikin (bisa) selama 24 jam beroperasi," tandasnya.
Untuk membuat satu unit kincir air berukuran jumbo itu para petani membutuhkan waktu selama dua hari dikerjakan sekitar 15 orang. Di sisi lain, kincir air yang dibuat juga bisa bertahan sepanjang musim kemarau dengan perawatan yang mudah.
"Perawatannya paling cuma ngecek tiap hari. Memastikan tidak ada sampah yang nyangkut dan mengganggu laju kincir," jelasnya.
Para petani biasanya membuat kincir air hingga 11 unit untuk mengairi puluhan hektare lahan persawahan. Berkat kebiasaan membuat kincir air ini, sejumlah petani di desa tersebut tetap bisa bercocok tanam meski dilanda kemarau panjang.
"Setahun tetap bisa panen 3 kali, kan kalaupun kemarau panjang air Citanduy tidak sampai kering, tetap mengalir, jadi tidak ada puso atau gagal panen, makanya kincir tetap dibuat" tambah Odo.
Foto dan Teks : Antara Foto (Adeng Bustomi)