KOMPAS.com - Dari zaman prasejarah hingga abad ke-20, kapak batu masih menjadi alat potong dan digunakan pula sebagai alat mempertahankan diri dari serangan musuh.
Namun bagi warga dan suku-suku di wilayah Sentani, kapak batu atau tomako batu tersebut sudah tidak memiliki fungsi sebagai alat potong tetapi sebagai fungsi sosial dalam kebudayaan masyarakat setempat yaitu sebagai alat pembayaran maskawin, alat bayar denda, atau sebagai pemberian (hadiah) kepada orang.
Perajin batu masih banyak ditemui di Sentani. Mereka biasanya menyusuri Danau Sentani untuk mencari batu yang dijadikan tomako batu. Untuk mahar atau maskawin, ukuran batu sekitar 10-30 cm.
Jumlah kapak batu yang digunakan sebagai alat bayar bisa mencapai ratusan yang diserahkan pihak keluarga laki-laki kepada pihak perempuan dan ditambah dengan uang.
Menurut salah satu perajin batu, Edwin Epaa (41), keistimewaan tomako batu adalah warna sesuai dengan aslinya tanpa ada pengecatan setelah dihaluskan untuk maskawin. Dalam pemilihan jenis batu, harus benar-benar yang berkualitas dan tidak asal-asalan karena tomako batu itu dipakai sebagai harta turun-temurun.
"Untuk melihat warna batu, biasanya perajin membasahi batu tersebut. Apabila warnanya hijau muda dan hijau gelap serta ujung batu ditembusi cahaya, ditambah dengan serat-serat batu yang bercorak cantik, maka batu tersebut memiliki kualitas yang tinggi." kata Edwin.
Terdapat 10 jenis tomako batu yang dianggap sebagai harta sekaligus harga diri dari Suku Mebri, yakni allowae hawa phu, alowae nokom phu, alowae Hebhe, yengge fee, khonge, raeme yalobho, penkhu, yanjang bhulu, angguangge ro, hawa bhu.
Selain itu ada manik-manik yang terdiri tiga pasang. Warna kuning disebut Hate, warna biru Nokho dan warna hijau adalah Hawa dengan bahan pengikat manik-manik biasanya dari serat kayu.
Foto dan Teks : Antara Foto (Indrayadi TH)