KOMPAS.com - Nochtwachter atau Sang Penjaga Utara. Begitulah julukan yang pernah tersematkan pada Pulau Sebira sejak zaman kolonial Belanda karena letaknya di paling utara wilayah Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.
Berada sekitar 160 kilometer dari wilayah Ibu Kota di daratan Jawa dan menyendiri di sisi paling utara Kepulauan Seribu membuat Pulau Sebira sempat luput dari perhatian pemerintah.
Sejumlah masalah ketertinggalan Sebira dibandingkan wilayah DKI Jakarta lainnya sempat menenggelamkan beragam potensi pulau seluas 8,8 hektar yang berpenduduk 577 jiwa (data terakhir 20 Juni 2021) itu.
Untuk memangkas ketimpangan yang ada, pemerintah kabupaten setempat mengupayakan sejumlah pembangunan fasilitas dan peningkatan pelayanan umum.
Sejak 1970-an atau masa awal dihuni penduduk pindahan dari Pulau Genteng, Sebira yang kaya akan hasil perikanan laut itu terasa sangat jauh untuk dijangkau.
Pengunjung dari daratan Jakarta di Jawa membutuhkan waktu delapan jam perjalanan untuk mencapai pulau dengan mayoritas warga bersuku Bugis itu.
Namun, durasi itu dapat dipangkas menjadi tiga jam perjalanan setelah pemerintah mengoperasikan kapal cepat Chabing Nusantara pada 2019.
Tak hanya penumpang, pengiriman logistik hingga keperluan-keperluan lainnya menjadi lebih mudah dilakukan masyarakat Sebira setelah layanan transportasi itu hadir sehingga meningkatkan taraf perekonomian mereka.
Selain itu, aliran listrik dari mesin genset yang mengalir tidak lebih dari 14 jam sehari juga sempat menghambat kehidupan masyarakat Sabira.
Akan tetapi, aliran listrik 24 jam akhirnya dapat dinikmati setelah pada 2017 pemerintah menambah mesin genset dengan kapasitas 125 Kva.
Bahkan, kini listrik 24 jam di Sebira tidak hanya tergantung pada mesin genset berbahan bakar minyak.
Pada 2019 Perusahaan Listrik Negara Induk Distribusi (PLN UID) Jakarta Raya mengoperasikan panel-panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang lebih ramah lingkungan.
Permasalahan tidak hanya pada akses dan listrik. Ketersediaan air bersih layak minum juga pernah menjadi permasalahan di sana.
Bahkan, kualitas air yang terus menurun sejak 1990-an menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan bagi sebagian warga Sebira, dari gangguan ginjal hingga prostat.
Untuk mengatasi permasalahan itu, sejak 2019 pemerintah membangun sistem Backrish Water Reverse Osmosis (BWRO) untuk penyediaan air bersih layak minum bagi masyarakat Sebira.Â
Yang terbaru, sejak Maret 2021 pemerintah juga telah mengoperasikan Sistem Pengolahan Air Limbah Domestik (SPALD) untuk mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus menjaga kualitas air permukaan dan air tanah di Sebira.
Meski menjadi bagian dari ibu kota negeri ini, Sebira pun pernah menjadi wilayah yang terasing dari informasi luar pulau karena minimnya infrastruktur telekomunikasi.
Bahkan, masyarakat setempat harus memanjat pohon hingga memasang antena setinggi belasan meter untuk meraih sinyal koneksi telepon seluler.
Kondisi itu berakhir pada 2018 setelah dua perusahaan telekomunikasi nasional memasang pemancar sinyal pada mercusuar peninggalan kolonial Belanda yang didirikan pada 1869.Â
Sektor ekonomi, hiburan hingga pendidikan pun semakin menggeliat setelah layanan internet cepat 4G dapat dinikmati warga Sebira, terlebih saat pandemi di mana pembelajaran sekolah diwajibkan secara daring.
Fase gelap penuh ketertinggalan kini sudah menjadi masa lalu. Kini, masa depan cerah terus ditatap dengan rasa optimistis oleh warga Sebira tanpa lagi merasa sebagai anak tiri dari Ibu Kota.
Foto dan teks: Antara Foto (Aditya Pradana Putra)