KOMPAS.com - Seekor gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) betina beserta bayi dalam kandungannya ditemukan mati di areal konsesi akasia di Talang Muandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Dugaan sementara kematian gajah itu akibat racun.
Dikutip dari Kompas.id, Ketua Rimba Satwa Foundation (RSF) Zulhusni Syukri, Kamis (26/5/2022), mengatakan, gajah betina itu ditemukan rebah di tanah sewaktu timnya berpatroli menjelajahi kantong populasi gajah di wilayah Giam Siak Kecil. Patroli dilakukan bersama tim Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Rabu (25/5/2022).
Saat didekati, Zulhusni mengatakan, gajah sudah dalam kondisi mati. Keluar darah dari mulut, telinga, dan sekitar alat kelaminnya. Di hari yang sama, tim BBSKDA langsung melakukan proses nekropsi. Dari perut sang gajah betina, tim mendapati ada bayi yang juga sudah mati.
Pelaksana Tugas Kepala BBKSDA Riau Fifin Arfiana Jogasara mengatakan, pihaknya masih menindaklanjuti temuan itu. Sampel hati dan organ lainnya dari gajah akan dikirim ke laboratorium di Sumatera Barat. ”Namun, dugaan sementara kematian gajah tersebut disebabkan oleh racun,” katanya.
Lebih jauh, Fifin menjelaskan, pihaknya masih berupaya memastikan lokasi kematian gajah tersebut. ”Sedang kami cek untuk memastikan lokasinya masuk dalam konsesi mana,” tambahnya.
Menurut Zulhusni, jika mengacu pada peta, lokasi kematian gajah berada dalam konsesi anak usaha Sinar Mas Forestry yang tengah mengusahakan tanaman industri akasia. Namun, wilayah itu dalam kondisi terokupasi. Hanya berjarak 30 meter dari lokasi kematian gajah, timnya mendapati lahan sudah ditanami sawit. ”Luas kebun sawit itu diperkirakan 150 hektar,” katanya.
Kematian gajah akibat racun itu, lanjutnya, merupakan puncak dari konflik berkepanjangan di wilayah itu. Dari pantauan GPS Collar (kalung pemantau posisi) yang dipasang pada gajah Seruni di kantong habitat Giam Siak Kecil, pergerakan gajah diketahui tak berpindah selama dua pekan lamanya. Karena khawatir terjadi konflik, tim pun mengecek ke lapangan.
Tim bahkan menggiring kawanan gajah untuk menjauh dari areal sawit. Penggiringan itu dilakukan setelah tim mendapati konflik tampak makin memanas. Sejumlah warga penggarap sawit diketahui resah dan mendesak agar gajah digiring menjauh. Tim juga sempat mendapati adanya ancaman yang besar bagi keselamatan kawanan gajah itu.
Lebih lanjut dijelaskan, kantong habitat gajah di wilayah Giam Siak Kecil seluas 90.000 hektar telah berubah menjadi kebun akasia, jalan, dan permukiman pendatang. Kondisi itulah yang menyebabkan kawanan gajah berpopulasi sekitar 40 ekor itu kian terdesak.
Ditambah lagi, sejak 2016, ada pembangunan jalan tol pada habitat kelompok gajah lainnya di wilayah Balai Raja. Pembangunan itu menyebabkan kawanan gajah Balai Raja yang berjumlah sekitar 20 ekor bermigrasi ke Giam Siak Kecil. Akibatnya, populasi gajah yang signifikan di Giam Siak Kecil semakin padat. Di saat yang sama, perambahan liar untuk kebun sawit juga kian meluas, menimbulkan konflik ruang dan sumber daya.
Staf Humas PT Arara Abadi, anak usaha Sinar Mas Forestry, Nurul Huda mengatakan, masih menunggu pengecekan bersama BBKSDA Riau perihal lokasi kematian gajah. Menurut dia, lokasi itu sudah di luar konsesi perusahaannya. ”Tapi, kami tetap masih menunggu hasil pengecekan di lapangan,” ujarnya.
Artikel ini sebelumnya telah tayang di Kompas.id dengan judul :