KOMPAS.com - Sejak zaman nenek moyang, perajin wanita Papua telah menganyam dengan cermat menggunakan serat kulit kayu pohon untuk menciptakan noken, sebuah tas tradisional yang tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga mengandung filosofi dan simbol kebudayaan yang dalam.
Setiap benang yang disusun dengan teliti di dalam noken mencerminkan kearifan lokal dan kekuatan perempuan Papua yang tak terpisahkan dari identitas budaya mereka.
Pada 4 Desember 2012, pengakuan resmi datang dari UNESCO, menetapkan noken sebagai warisan budaya tak benda, mengukuhkan nilainya sebagai simbol keberlanjutan warisan leluhur yang berharga dan tak ternilai harganya bagi masyarakat Papua dan dunia.
Memiliki kesempatan untuk melihat langsung para perajin noken beraktivitas merupakan satu pengalaman yang berharga. Berangkat dari Kota Jayapura menuju dermaga pol air sekitar pukul 06.00 WIT, Sabtu (4/5/2024). Cuaca cerah menemani perjalanan berdurasi 2 jam tersebut, dari dermaga masih harus naik speed boat kurang lebih 30 menit ke Kampung Endokisi, Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura.
Perjalanan ke Kampung Endokisi ditemani lanskap lautan berwarna biru kehijauan, hembusan angin laut membuat terik matahari tidak seberapa di kulit. 30 menit terasa kurang untuk menikmati perjalanan laut tersebut.
Sampai di tujuan, langsung disambut dengan hangat oleh masyarakat, dan diajak berkumpul di pondok adat. Didampingi tokoh setempat, dan bertemu dengan lima orang mama perajin noken, Helena Waffumilena, Miryam Oyei Yarisetouw, Loisa Oyaitouw, Adolfina Oyaitouw, Marthina Katoar. Sesuai tradisi turun-temurun menganyam noken hanya dikerjakan oleh para wanita. Hanya saja tidak semua wanita Papua bisa menganyam noken.
Proses panjang membuat noken
Noken berbahan dasar dari serat kulit kayu, dan para perajin mendapatkan serat kulit kayu pohon di hutan. Untuk mendapatkan kulit kayu yang pas dan dibutuhkan, perajin harus masuk ke hutan dengan jarak tempuh kurang lebih 20 menit hingga 1 jam. Karena ada beberapa jenis pohon yang bisa digunakan untuk menjadi bahan pembuatan noken yaitu pohon mahkota dewa, pohon genemo (melinjo), pohon gedi hutan, pohon susah.
Pohon genemo dan mahkota dewa adalah dua jenis pohon yang sering dipilih pengrajin karena kuat. Akan tetapi, ada sedikit perbedaan pada warna. Bahan serat pohon genemo setelah menjadi noken warnanya sedikit kecoklatan, sedangkan serat pohon mahkota dewa menghasilkan warna yang lebih putih.
"Dari keempat pohon itu, mama paling sering menggunakan pohon mahkota dewa dan pohon melinjo untuk membuat noken karena serat dari kedua pohon itu sangat kuat ketika sudah menjadi noken dan kalau dipakaipun bisa 5 tahun lebih baru rusak,” kata Helena Waffumilena, salah satu perajin noken.
Selain itu, ada jenis pohon yang sering disebut sebagai pohon manik-manik. Pohon ini biasa digunakan sebagai hiasan noken berupa manik-manik alami atau dipadukan dengan manik-manik buatan.
Proses dan cara mendapatkan kulit kayu dari masing-masing pohon pun beda perlakuan. Misalnya pohon mahkota dewa dan pohon melinjo, perajin mengambil serat kulit kayu dua pohon tersebut dengan cara dibelah menggunakan pisau, setelah terbelah kulit kayu pohon ditarik hingga panjang baru kemudian dipotong.
Berbeda halnya dengan pohon Gedi Hutan, perajin mengambil dengan sangat hati-hati karena apabila pohonnya terkena kulit akan terasa gatal. Terakhir pohon susah, sesuai namanya pohonnya sangat langka dan susah untuk dicari. Proses pengambilan kulit pohon pun cukup mengambil rantingnya saja.
Usai mencari serat kulit kayu pohon di hutan. Tidak berlama-lama perajin pun pulang ke pondok adat dan mengupas kulit kayu agar bisa dilanjutkan ke proses perendaman, pengeringan, pewarnaan, merobek serat, memintal, hingga menganyam, dan menjadi noken.
Dari keempat pohon tersebut prosesnya hampir sama, hanya ada perbedaan dari ketiga pohon antara pohon, gedi hutan, genemo, dan mahkota dewa. Pohon gedi hutan, karena membuat gatal apabila terkena kulit, proses perendamannya sangat lama lebih kurang 7 hari. Sedangkan pohon genemo perendamannya tidak lama. Akan tetapi, serat kulit kayunya harus ditumbuk. Sedangkan pohon mahkota menghasilkan banyak getah.
Setelah melalui proses perendaman, serat kulit kayu dikeringkan, diwarnai, baru kemudian dipintal menjadi benang.
Proses pintal dilakukan oleh perajin secara manual di atas paha, di atas kaki, dan kalau sudah terlalu lama dan terasa perih mereka menggunakan bangku kecil sebagai ganti kaki dan paha.
“Kalau kaki dan paha mama sudah terasa perih dan sakit karena terlalu lama memintal, mama suka pakai bangku kecil sebagai alas untuk memintal,” lanjut Helena Waffumilena.
Serat-serat yang sudah melalui proses dan menjadi benang. Kemudian dianyam secara manual menjadi noken. Membutuhkan waktu lebih kurang empat hari untuk noken kecil, sedangkan untuk membuat noken yang sedang diperlukan waktu satu bulan, dan pembuatan noken yang besar bisa memakan waktu hingga tiga bulan.
Noken dan tradisi
Jauh sebelum menjadi barang yang dicari turis sebagai kenang-kenangan seusai berkunjung ke tanah Papua. Noken sudah menjadi bagian keseharian masyarakat di Papua. Digunakan untuk membawa hasil bumi, hasil buruan, barang, bahkan tidak jarang juga untuk membawa anak kecil.
Tak hanya itu, noken juga sangat diperlukan ketika ada pesta adat karena diwajibkan menggunakan noken.
“Kalau ada pesta adat noken digunakan sebagai alat budaya karena sejatinya ketika ada acara adat wajib menggunakan noken,” kata Rehabeam Yarisetouw, tokoh adat Kampung Endokisi, Distrik Yokari, Kabupaten Jayapura.
Dalam komunitas Distrik Yokari, noken terbagi menjadi tiga golongan. Pertama yaitu yo mori noken dengan warna merah. Kedua, yo wari noken dengan warna-warni, dan golongan yang ketiga, yo yepei noken dengan warna putih, kerap digunakan untuk pemerintahan dan tokoh adat yang mewajibkan warna putih polos.
“Kalau masyarakat di Yokari, menyebut noken itu tekoy tangke (noken kecil khas Yokari), sedangkan sebutan noken adalah tangke tere. Ada dua golongan yang nokennya sama. Tapi, kalau kita dari golongan pemerintahan/tokoh adat harus putih polos karena noken ini harkat dan martabat dan ada nilai ritualnya disitu,” lanjut Rehabeam Yarisetouw.
Beberapa masyarakat, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua sangat bangga menggunakan noken dengan berbagai model dan ukuran.
“Saya menggunakan noken untuk membawa kapur, sirih, pinang, dan uang. Saya bangga menggunakan noken hasil karya mama-mama Kampung Endokisi,” ujar Yuliana Kartini Demetouw, salah satu warga di Kampung Endokisi.
Bagi masyarakat Kampung Endokisi, noken memiliki nilai filosofis yang melambangkan simbol-simbol bagi masyarakat Kampung Endokisi. Mereka menganggap bahwa noken merepresentasikan simbol kehidupan yang baik, kesuburan, kekeluargaan, perdamaian, wanita Papua, ekonomi, dan identitas atau jati diri.
“Noken yang dianyam kalau dilihat ada lubang-lubang. Lubang itu menandakan kita punya jati diri, seperti kita punya jati diri kalau noken ada lubang terlihat dari luar bisa tembus terlihat sampai ke dalam ketika kita membawa sirih, kapur, pinang, sampai harta pun ada di dalam. Akan tetapi, mereka yang melihat tidak bisa ambil dari luar atau dari lubang itu karena harus kita ambil lewat pintu (mulut) noken, jadi ketika mau minta kita kasih keluar dulu lewat pintu noken baru silahkan ambil,” Ucap Helena Waffumilena.
Noken berbahan dari serat kulit kayu ini apabila dijual oleh para perajin harganya bervariasi sesuai dengan bahan dan ukuran. Harga satu Noken mulai dari Rp 150.000 untuk ukuran kecil, Rp 300.000 ukuran sedang, hingga Rp 1 juta untuk ukuran yang besar.
Pengrajin-pengrajin berharap agar bisa mendapatkan harga pasaran yang tetap sehingga perekonomian masyarakat bisa lebih baik.
“Banyak mama-mama di sini hampir kita tidak pernah jual dengan harga baik. Jadi mama-mama di sini menjadi lelah dan banyak yang tidak fokus. Mama berharap supaya harga pasaran lebih baik biar mama-mama lain bisa fokus kembali supaya bisa lebih baik perekonomiannya,” tutup Helena Waffumilena.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel cerita foto di atas adalah bagian dari tugas akhir penulis.
Dengan judul skripsi: "Kitong Pu Noken, Buku foto cerita tradisi noken dari Distrik Yokari Papua"