KOMPAS.com - Peristiwa erupsi Gunung Merapi 2006 dan 2010 membuat masyarakat sekitar banyak belajar. Pasca-erupsi tersebut, banyak hal yang sudah berubah, termasuk kesiapsiagaan masyarakat.
Ketangguhan masyarakat salah satunya dapat dilihat dengan didirikannya pos pemantauan Gunung Merapi secara mandiri.
Mereka pun terus mencoba hidup berdampingan dengan ancaman bencana yang bisa terjadi kapan saja.
Pengalaman dari letusan menyadarkan warga yang tinggal di lereng Merapi bahwa mereka terjebak dalam dua pilihan.
Pilihan pertama, bersedia direlokasi ke tempat yang lebih aman dari bencana. Adapun opsi kedua adalah hidup berdampingan dengan bencana sembari meningkatkan mitigasi.
Hingga kini, opsi kedua masih sering dipilih warga yang tinggal di kaki Gunung Merapi. Mereka lebih suka menyesuaikan cara hidup dan bersiap dengan kemungkinan terburuk ketimbang pindah dari kampung halaman.
Tak hanya itu, warga lereng Merapi juga kian peka terhadap fenomena alam yang berdasar pengalaman letusan dapat dijadikan pedoman bencana.
Tak heran, meski status Merapi saat ini menjadi Siaga (Level III), masih ditemukan sebagian masyarakat di kaki gunung yang beraktivitas normal seperti biasa.
Meski demikian, sebagai upaya preventif, sebagian warga rentan lain yang terdiri dari orang lanjut usia (lansia), balita, ibu hamil, dan difabel, telah dilakukan evakuasi secara bertahap.
Data terkini dari Pusat Pengendalian Operasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, jumlah warga yang mengungsi imbas status Siaga Gunung Merapi per Minggu (15/11/2020), bertambah menjadi 1.831 jiwa.
Jumlah ini terdiri dari warga Kabupaten Magelang sebanyak 828 jiwa, Boyolali 401 jiwa, Klaten 388 jiwa, dan Sleman 214 jiwa.
Simak juga tulisan lengkap bagaimana hidup berdampingan dengan bencana dari warga lereng Merapi di sini