KOMPAS.com - Tradisi "nyadran" di Dusun Pete, Desa Kembangsari, Kecamatan Kandangan, Kabupaten Temanggung, Jumat, diwarnai dengan menyembelih kambing di sekitar makam Kyai Kramat dan Kyai Joyokusumo.
Ritual nyadran diawali dengan kirab mengelilingi dusun sambil membawa tumpeng "argodugo", parang "Joyokusumo", dan sejumlah kambing yang akan disembelih mulai dari samping masjid di Dusun Pete menuju lokasi makam.
Tiba di depan pintu gerbang makam Keramat, dilakukan penyerahan parang "Joyokusumo" kepada juru kunci makam.
Kemudian parang itu digunakan untuk mengawali penyembelihan kambing dan diikuti penyembelihan kambing yang lain di sekitar makam.
Di tengah penyembelihan kambing tersebut, tumpeng argodugo berupa tumpeng nasi dan hasil bumi seperti sayur mayur, buah-buahan, dan padi diperebutkan untuk pengunjung yang menyaksikan ritual tersebut.
Tradisi nyadran dengan menyembelih kambing dilakukan setiap dua tahun sekali pada bulan Ruwah (Syaban) di hari Jumat Kliwon.
Daging kambing setelah dimasak di sekitar makam kemudian dibagikan kepada masyarakat yang datang di tempat tersebut.
Daging kambing yang dibagikan harus dalam bentuk matang dan harus dimasak di sekitar makam.
Mereka yang menyembelih kambing adalah masyarakat yang mempunyai nazar dan diberi kemurahan rezeki.
Mereka tidak hanya datang dari Desa Kembangsari, tetapi juga warga dari luar desa, bahkan dari luar Kabupaten Temanggung.
Menurut cerita, Pangeran Joyokusumo merupakan bangsawan dari Mataram yang mengungsi ke Dusun Pete karena desakan Belanda.
Di daerah tersebut, Pangeran Joyokusumo yang berganti nama menjadi Sami hidup bersama istrinya, Saminah, serta menekuni profesi sebagai petani, bercocok tanam, dan beternak.
Pada hari Jumat Kliwon, ketika Sami dan Saminah sedang menggembala, salah satu kerbaunya terperosok ke dalam tanah.
Sami berusaha menolong kerbau yang terperosok dengan mencari tali atau rotan dan menemukan kerangka seekor ular raksasa yang di dalamnya terdapat dua kerangka manusia.
Dua kerangka tersebut merupakan jasad Kiai Bogowonto dari Majapahit yang mati "sampyuh" dimakan ular raksasa.
Kemudian Sami mengebumikan jasad Kyai dan Nyai Bogowonto di tempat tersebut yang sekarang dikenal dengan makam Kyai Kramat.
Kerbau yang berhasil diangkat oleh Pangeran Joyokusumo kemudian disembelih dan disedekahkan kepada masyarakat.
Sejak saat itu sedekah kerbau menjadi tradisi masyarakat Dusun Pete. Namun, tanpa mengurangi makna sedekah dan karena alasan ekonomi, digunakanlah kambing sebagai gantinya.