SEMARANG, KOMPAS.com - Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah, menggelar tradisi dugderan secara sederhana untuk menyambut Ramadhan.
Meski tidak semeriah pada saat sebelum pandemi, tapi budaya asli Kota Semarang ini tetap dilaksanakan dengan pembatasan.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengatakan, tradisi dugderan tahun ini masih digelar tanpa pawai seperti pada saat sebelum pandemi.
"Tradisi dugderan tetap akan dilakukan hanya metodenya masih belum bisa arak-arakan di jalan raya," jelas Hendi usai pengecekkan stok minyak goreng di Pasar Bulu, Selasa (29/3/2022).
Hendi mengungkapkan prosesi akan diawali dengan acara pembukaan secara simbolis di Balai Kota Semarang.
Kemudian, acara dilanjutkan secara terbatas di Masjid Agung Semarang atau Masjid Kauman, Kawasan Pasar Johar.
"Proses itu kita mulai dari halaman Balai Kota kemudian pindah ke Masjid Agung Semarang," kata Hendi.
Tujuannya yakni untuk memberikan informasi kepada masyarakat bahwa telah tiba bulan yang penuh berkah.
"Kita sudah dapat kabar dari Pak Gubernur beliau bersedia menerima kita di MAJT dan menyampaikan masyarakat bahwa Ramadan akan segera tiba dan mulai menata kehidupan lebih baik di bulan yang penuh berkah," ungkapnya.
Di sisi lain, tradisi Dugderan ini juga diharapkan bisa menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung ke Kota Semarang.
Sebagai informasi, tradisi Dugderan merupakan pesta rakyat tahunan yang berlangsung turun temurun dengan melibatkan masyarakat Kota Semarang.
Tradisi ini dimeriahkan dengan festival di mana para pedagang akan menjajakan dagangannya, mulai dari minuman, makanan, dan berbagai mainan tradisional anak-anak.
Selain itu, untuk memeriahkan tradisi Dugderan, diciptakan ikon berupa Warak Ngendok sebagai simbol dari keberagaman etnis di Kota Semarang dan sekitarnya.
Pasalnya, Warak Ngendok berbentuk naga pada kepalanya yang merupakan ciri khas etnis Tionghoa.
Lalu tubuhnya menyerupai binatang Unta, yang merupakan simbol etnis Arab.
Pada kaki dibuat dengan menyerupai kambing sebagai simbol yang menunjukkan etnis khas Jawa.