YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Kota Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar dan juga kota wisata. Tak hanya itu Kota Yogyakarta rupanya menyimpan banyak sejarah yang saat ini bisa dinikmati melalui bangunan-bangunan yang masih utuh.
Salah satunya adalah Masjid Selo, masjid yang merupakan peninggalan dari Sri Sultan Hamengku Buwono I ini masih kokoh berdiri.
Lokasinya terletak di tengah pemukiman di Kampung Panembahan, Kecamatan Kraton, Kota Yogyakarta.
Masjid Selo dibangun sejak tahun 1789, arsitekturnya mirip dengan area Taman Sari, kemiripannya dari mulai daun pintu yang rendah, atap, hingga ketebalan tembok yang mencapai 75cm.
Pintu atau atap yang rendah ini memiliki makna filosofis yakni memberi hormat atau menghormati, karena setiap orang yang datang harus melewati pintu dengan cara menunduk.
Masjid Selo awalnya digunakan oleh pangeran-pangeran Keraton menunaikan ibadah shalat.
Sedangkan warga biasa dulu shalat di Masjid Gede Kauman, Masjid yang cukup jauh dari area Panembahan.
Seiring berjalannya waktu masjid ini sempat tak digunakan dan hanya sebagai gudang penyimpan keranda jenazah yang terbuat dari kayu. Tetapi saat ini keranda sudah diganti dengan bahan stainless steel.
Pada tahun sekitar 1965 warga mulai menyurati Keraton Yogyakarta untuk bisa menggunakan Masjid Selo sebagai tempat menunaikan ibadah. Permintaan warga dikabulkan saat itu, Masjid Selo diizinkan untuk digunakan warga tetapi dengan syarat tidak boleh mengubah bangunannya.
"Masyarakat izin ke Keraton dengan berkirim surat untuk menggunakan Masjid ini. Balasan dari Keraton 'keno nganggo ning ora keno ngowah-owah' (boleh digunakan asalkan tidak mengubah)," ujar Bendahara Masjid Selo Sunarwiyadi.
Bagunan Masjid Selo berukuran 6 x 8 meter. Bangunan utama hanya mampu menampung sekitar 30 jemaah. Temboknya bercat putih, dengan jendela berukuran kurang lebih 1 meter bercat hijau.
Ruangan inti memiliki atap yang tinggi sehingga, menimbulkan kesan dingin. Karena tebalnya tembok membuat ruangan ini bergema saat seseorang berbicara.
"Kalau orang tingginya lebih dari 150 cm harus nunduk. Sering sekali warga yang tubuhnya tinggi ini nyundul tembok karena tebalnya 75 cm," kata Sunarwiyadi, ditemui di Masjid Selo, Senin (4/4/2022).
Oleh masyarakat Masjid mulai dibersihkan dan keranda dibuatkan ruangan tersendiri. Saat awal digunakan lantai masih menggunakan jerambah semen campur bata merah. Lalu diberi alas berupa kepang dan di atasnya tikar, untuk berjamaah.
Ia bercerita dulunya di depan Masjid Selo masih ada dua kolam disisi kanan dan kiri tetapi sekarang kolam sudah tidak ada lagi.
"Kemarin ada yang buat resapan ternyata pondasi sampai ke bawah," kata dia.
Dengan tebal tembok serta pondasi yang dalam bangunan Masjid Selo ini masih kokoh berdiri. Bahkan saat gempa dahsyat menggoyang Yogyakarta dan sekitarnya pada tahun 2006 lalu Masjid Sela tak mengalami kerusakan.
"Kalau bencana alam gempa kemarin tidak ada pengaruhnya, pondasi ini sampai ke bawah. Saat ada tukang buat resapan ternyata masih ada pondasi sampai bawah," kata dia.
Renovasi yang telah dilakukan adalah mengubah lantai yang awalnya dari semen biasa menggunakan keramik sehingga menambah kesan dingin di ruangan inti.
Seiring berjalannya waktu dan banyaknya kegiatan di Masjid Selo, pihak takmir menambah ruangan di sisi kanan dan kiri agar kapasitas Masjid Selo bertambah.